Sabtu, 12 Desember 2015

Persamaan Budaya Ende dengan Manggarai

Persamaan Budaya Ende  dengan Manggarai
Antara  Ende dan Manggarai ada persamaan. Pertama persamaan  geografis, bahwa sama-sama mendiami pulau Flores. Kedua dari segi   sejarah asal usul  nenek moyang bahwa ada  suku tertentu di Ende dan Manggarai yang mengaku bahwa nenek moyangnya berasal dari Pulau Sulawesi. Di Ende keturunan Wangge berasal dari Sulawesi. Di Manggarai, suku Maras yang mendiami Manggarai dan Manggarai Barat mengaku bahwa nenek moyangnya berasal dari Sulawesi.Ketiga, bahasa. Ada beberapa kosa kata  Ende dan Manggarai yang sama, seperti: kae (kakak), ine (ibu / mama), nanga (pantai),  dll. Keempat, mitos.
Beberapa mitos yang sama adalah:
1.asal mula kera (kera berasal dari manusia),
2.kera dan manusia (sepasang suami istri berhasil membedayai kawanan kera yang sering mengganggu tanaman mereka. Suami -istri itu menacari akal bagaimana membinasakan mereka. Mereka dua sepakat. Suami pura-pura mati,lalu  istri meratap penuh iba. Kawanan kera masuk rumah. Begitu mereka masuk rumah, rumah titutup lalu sang suami bangun mengambil parang, tombak membuhuh  semua kera yang ada dalam rumah. Kera terperangkap. Mereka mati semua. tanaman mereka aman, hidup sejahtera).
3. Pengurbanan manusia yang kemudian menjadi benih yang menghidupkan (padi, jagung, kelapa,)
4. Gunung berasal dari manusia ( Tiga Gunung di Ende : Ia - Meja - Wongge; 2 gunung di Manggarai Barat: Poco Kuwus dan Golo Umpu).
5. Bahasa: Ine  ame (Ibu Bapa), Telu (tiga), weta (saudari),  Sa (satu?),  (Rua = Ende Lio = Dua, Manggarai: sua = dua (Manggarai.);   watu ( Ende dan Manggarai) = batu., misalnya  watumite di Nangapenda, Ende.  (https://www.publikasi.uniflor.ac.id/2024/08/uniflor-mengabdi-kkn-desa-watumite.html). 
6. Ikat  Kepala: (Sapu = Manggarai, .............Ende Lio).
7. Permainan:  Permainan  Bambu :........... ( https://www.youtube.com/watch?v=EBjEIh3XKuE) = Kerangkuk Alu  dalam Budaya  Manggarai. ( https://www.youtube.com/watch?v=N1xvqXmrpGk)
8. Bajak sawah pakai  kerbau (https://www.youtube.com/watch?v=EBjEIh3XKuE)) = 
9. Lagu  Gawi........... Salah  satu  frasanya: " Manunggo ra su manunggo , le ru le wula leru le"  dengan  lagu Manggarai : ....... dengan  frasanya: Manu nggo o rasung manunggo  le ru le o wulang leru le" .  Apa arti lagu : " Manunggo ra su manunggo , le ru le wula leru le". Saya sendiri  belum tahu. Perlu tanya orang  Ende.   (VMG - JPS 7 Juni 2022).






https://www.youtube.com/watch?v=WbO5QRPWgYk&feature=youtu.be


  _______




https://www.youtube.com/watch?v=f8aoxjzGa8s

Nama Burung dalam Bahasa Ende

Jata = Elang = Rajawali



Sabtu, 21 Maret 2015

Pernikahan Adat Flores


Pernikahan Adat Flores

 Sumber: https://budayanusantara2010.wordpress.com/upacara-adat-perkawinan-khas-nusantara/pernikahan-adat-flores/

Perkawinan Adat Masyarakat Manggarai
Perkawinan yang paling umum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat pedesaan di Manggarai adalah perkawinan akibat pacar-pacaran antara pemuda-pemudi. Kalau antara pemuda-pemudi sudah ada pengertian dan persetujuan untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, maka keluarga si pemuda melamar (cangkang) pada keluraga si gadis. Dalam hal itu keluarga si gadis biasanya akan meminta suatu mas kawin (paca) yang tinggi dengan sejumlah kerbau dan kuda; sedangkan mereka akan juga memberi kepada si keluarga pemuda sebagai imbalan suatu pemberian yang besar juga. Hubungan yang terjadi antara keluarga yang seperti itu, ialah antara keluarga pihak pemuda sebagai penerima gadis (anak wina) dan pihak pemuda sebagai pemberi gadis (anak rona) adalah biasanya amat formil.
Suatu perkawinan adat yang banyak terjadi terutama di antara orang bangsawan , tetapi sring juga di antara orang biasa, adalah perkawinan yang sudah ditentukan dahulu oleh orang tua. Di dalam hal mencarikan jodoh untuk anaknya orang akan selalu mencari seorang jodoh yang menurut adat merupakan perkawinan yang paling ideal bagi seorang Manggarai, ialah perkawinan dengan seorang anak wanita saudara pria ibu. Perkawinan ini disebut perkawinan tungku. Pada perkawinan tungku biasanya tidak dibutuhkan suatu paca yang besar. Mas kawin itu biasa yang dianggap sebagai syarat proforma saja. Hubungan antara anak wina dan anak ronad di dalam hal ini juga bersifat amat bebas seperti antara adik dan kakak saja.
Suatu bentuk perkawinan lain yang juga sering dilakukan oleh pemuda-pemuda yang tidak mau atau tidak mampu membayar mas kawin yang tinggi adalah kawin lari atau kawin roko dilakukan dengan pengertian antar kedua belah pihak, sebagai syarat adat atau sebagai perbutan pura-pura untuk menutup rasa malu atau rasa canggung bagi keluarga yang tidak mampu membayar paca tinggi. Walaupun demikian sampai sekarang masih ada juga perkawinan roko yang tidak dilakukan sebagai perbuatan pura-pura atau untuk syarat saja, tetapi sebagai kawin lari yang sungguh-sungguh, karena pihak si gadis tidak menyetuju dengan perkawinannya. Dalam pada itu ada anggapan bahwa kemarahan dari pihak si gadis sudah reda dan bahwa mereka sanggup untuk menerima ucapan maaf dan sekalian menerima permintaan lamaran dari pihak keluarga si pemuda. Walaupun ada perundingan yang terjadi pihak keluarga si gadis untuk menahan harga diri, tetap minta paca yang sangat tinggi, dalam hal iti toh tidak dipenuhi, karena dalam kenyataan si pemuda toh sudah hidup di antara keluarga si pemuda.
Seorang pemuda yang tidak mampu membayar mas kawin, sering juga melakukan cara lain untuk tetap bisa mengawini gadis idamannya, ialah dengan cara bekerja pada orang tua gadis untuk suatu jangka waktu tertentu. Bentuk perkawinan ini di Manggarai disebut perkawinan duluk.
Perkawinan adat lain yang tidak sering terjadi adalah perkawina levirat. Dalam hal itu seorang diminta mengawini janda dari adik atau kakak laki-lakinya yang meninggal. Perkawinan levirat atau perkawinan liwi dalam bahasa Manggarai, tidak membutuhkan syarat paca. Sebaliknya perkawinan sororat, atau timu lalo dalam bahasa Manggarai, membutuhkan prosedur lamaran yang baru dengan syarat paca yang juga tinggi.
Adat menetap sesudah niakah Manggarai pada khususnya dan di flores pada umumnya, adalah virilokal. Adapun poligini merupakan suatu gejala yang jarang di flores, apalagi sekarang, karena suatu persentase besar dari penduduk Flores beragama Katolik. Juga pada khususnya di Manggarai poligini dulu hanya dilakukan oleh beberapa keluarga orang bangsawan, tetapi jarang oleh penduduk pada umumnya.
Secara garis besar di Manggarai dikenal beberapa jenis perkawinan antara lain:
1) Perkawinan antar pelapisan social tingkat atas didasarkan atas kesepakatan orang tua untuk melanjutkan kekuasaan. Besarnya belis tidak merupakan lambang pemabayaran wanita tetapi penghargan kepada orang tua wanita yang telah membesarkannya.
2) Perkawian pelapisan menengah, biasanya diputuskan oleh pemuda dan pemudi itu sendiri tanpa (kadang-kadang) mengikuti sertakan orang tua dalam pemilihan jodoh.
3) Perkawinan tungku salang, perkawinan yang terjadi karena memiliki hubungan dara misalnya anak laki-laki dari tante dapat dinikahkan dengan anak perempuan dari om
4) Perkawian tungku kala adalah jenis perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan hu bungan dara.
5) Perkawinan silih tikar ganti tikar ialah jenis perkawinan sororat dan levirat.
Proses perkawinan bagi orang Manggarai pada umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain:
1) Tahap perkenalan yang disebut dengan toto, maka keluarga laki-laki berkumpul untuk mempersiapkan untuk meminang gadis. Perempuan yang menentukan pokok-pokok pembicaraan.
2) Tei hang ende agu ema (persemabahan), ada satu kebiasaan malam menjelang pemina ngan diadakan upacara persembahan kepada nenek moyang agar diberkati perjalanan hidup mereka.
3) Taeng, peminangan dilakukan melalui tongka juru bicara masing-masing, dilanjutkan dengan pemberian belis sebagai tanda ikatan.
4) Nempung, umber, merupakan acara perkawinan pihak keluarga laki-laki menghantar seluruh belis yang diminta.
Sistem Perkawinan Menurut Adat Manggarai
a. Cangkang
Perkawinan di luar suku atau perkawinan antar suku. Dalam bahasa adanya dikatakan laki pe’ang atau wai pe’ang (anak wanita yang kawin di luar suku). Orang yang laki pe’ang atau wai pe’ang membuka jalur hubungan baru dengan suku-suku lain. Dengan itu keluarga besar lebih lebar jangkauan hubungan woe nelu-nya. Dari praktek orang tua tempo dulu, orang yang laki pe’ang bukan sembarang orang. Biasanya dari kalangan keluarga yang mampu membayar belis atau paca. Karena paca itu sendiri bukan cuma soal uang atau hewan, tetapi terutama soal harga diri dan martabat dari kedua belah pihak, antara keluarga pria dan wanita.
b. Tungku
Perkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak rona dengan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang. Laki-laiki dan wanita yang kawin tungku disebut saja laki one dan wai leleng one.
Pemuda yang laki one dapat berarti pria yang kawin tungku, juga berarti perkawinan terjadi di dalam atau di sekitar kampung asalnya.
Demikian pula terhadap wanita yang wai leleng one. Berbicara tentang paca untuk orang yang laki one dan wai leleng one tergantung pada jenis tungku.
Menurut adat Manggarai ada beberapa jenis tungku :
– Tungku cu atau tungku dungka
Kawin antara anak laki-laki dari ibu kawin dengan anak perempuan dari saudara itu atau om.
– Tungku nereng nara
– Tungku anak de due
– Tungku canggot
– Tungku ulu atau tungku sa’i
– Tungku salang manga
– Tungku dondot
c. Cako
Perkawinan dalam suku sendiri. Biasanya anak laki-laki dari keturunan adik dan anak perempuan dari keturunan kakak. Disebut juga sebagai perkawinan cako cama tau. Perkawinan cako biasanya orang tua mulai mencobanya pada lapisan ketiga atau lapisan keempat dalam daftar silsilah keluarga. Mengapa dikatakan mencoba? Karena menurut adat Manggarai, tidak semua perkawinan cako direstui mori agu ngaran. Orang Manggarai percaya bahwa Tuhan-lah yang menentukan apakan perkawinan itu direstui atau tidak. Ada bukti bahwa perkawinan cako tidak direstui, bahwa kedua insan yang menikah itu mati pada usia muda sebelum memperoleh anak.
Perkawinan cako cama salang artinya perkawinan yang dilangsungkan dengan sesama anak wina. Dalam konteks ini belis tidak dituntut sesuai dengan kemampuan kita. Berlaku ungkapan tama beka salang agu beka weki.
Hukum Perkawinan Adat Lio
Dahulu, dalam pergaulan hidup sehari-hari, masyarakat Lio umumnya antara pria dan wanita, selalu ada kebebasan berinteraksi namun selalu juga saling memperhatikan harga diri, baik tua maupun muda. Pada hakikatnya, dalam menjaga harga diri tersebut, ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan oleh adat, selalu menjadi titik central dan pedoman untuk mengontrol, yang sudah terangkum dalam bentuk larangan-larangan.
Larangan-laangan itu sebagai berikut:
1) Dilarang menjamah tubuh, atau anggota tubuh seorang wanita yang bukan ibu atau isteri, yang bukan juga keluarga dekat, sedarah.
2) Menjamah pakaian yang sementara dipakai oleh seorang wanita, karena hal ini akan disamakan menjamah tubuh wanita itu.
Pelanggaran terhadap kedua ketentuan ini, seorang lelaki akan dikenakan denda (ndate wale) oleh pengadilan adat, bila orang yang dijamah melaporkan kepada ketua adat. Maka hukumnya berbunyi: “Te tebo tau fe’a, Sai lo tau mea”. (Fe’a-mea = merendahkan atau menghinakan). Sanksi yang akan dikenakan adalah: “Lombu lua = menutup malu” dengan emas atau hewan, seliwu seeko’ sama dengan dua pasang emas dan seekor hewan ditambah sepasang pakaian wanita (Lawo lambu). Setelah itu, untuk resminya diadakan “Mi mina” artinya Pelanggar harus menanggung beban untuk makan bersama seisi kampung, (Kampung pria dan wanita) dan harus memotong hewan sesuai keputusan pengadilan adat.
Tujuan dari larangan-larangan itu ialah, menjaga tercapainya maksud dan tujuan perkawinan, yaitu perkawinan yang berharga, yang menjaga dan mempertahankan kemurnian darah keturunan.
Seorang wanita atau seorang pria yang tidak murni, akan dipandang rendah, tidak disukai oleh masyarakat dan acap kali diasingkan serta mendapat olokan, sindiran atau ejekan.
Pada orang yang berkuasa, berwibawa dan yang berharta atau kaya, selain dari mempertahankan kemurnian darah keturunan, ada juga maksud dan tujuan lain sebagai berikut:
a) Mempertahankan hak, memperluas kekuasaan atau wilayah kekuasaan.
b) Mempertahankan dan meningkatkan wibawa serta memperluas pengaruh.
c) Memperluas hubungan keluarga.
Dalam menjamin kemurnian perkawinan serta menjamin tercapainya maksud tujuan perkawinan yang sentosa dan bahagia, dalam adat Lio dikenal tiga tatacara atau proses menuju ikatan perkawinan, ialah:
a) Perkawinan “Dhuku tu – lengge lima”. Tujuan utama dari perkawinan ini ialah untuk menjaga kemurnian darah, sebab perkawinan ini berlaku antara anak pria saudari dan anak wanita saudara (Ana eda doa), diutamakan yang sedarah (kandung). Lalu yang satu turunan, dengan mas kawin atau belisnya dikaitkan dengan mas kawin atau belis dari calon ibu mantunya. (NB: Perkawinan jenis ini sekarang sudah dilarang oleh gereja).
b) Perkawinan Pa’a Tu’a. Tujuan utama dari perkawinan ini ialah untuk mempertahankan harta kekayaan, disamping mempertahankan keturunan secara murni, juga tujuan-tujuan lain seperti wibawa dan kekuasaan dan lain sebagainya. Ikatan perkawinan dalam acara ini, ada juga antara anak pria saudari dan anak wanita saudara namun tidak dinamakan “Dhuku tu lengge lima”, sebab bukan (ana eda doa) dan mas kawin atau belisnya tidak dikaitkan dengan mas kawin atau belis dari ibu mantunya. Dalam hal ini, bila perkawinan ini tidak jadi dilaksanakan, pihak yang bersalah harus mengembalikan harta benda kepada pihak yang tidak bersalah dengan jumlah dua kali lipat dengan yang diterimanya, atau yang disebut “Walo Ngawu”, itu jika pihak wanita yang bersalah. Aka tetapi jika pihak pria yang bersalah disebut, “Walo Regu Pata”. Dengan segala kerugiannya menjadi keuntungan pihak yang tidak bersalah.
c) Perkawinan “Tana ale”. Tujuan utama dari perkawinan ini adalah untuk memperluas hubungan kekeluargaan dan kekerabatan (beda kampung, suku dll), dengan maksud memperluas simpati dan kewibawaan serta kekuasaan dan sebagainya. Dalam perkawinan macam ini, bila pinangan sudah diterima tapi urusan selanjutnya tidak dilaksanakan, sehingga perkawinan tidak dilangsungkan, maka pihak pria dikenakan denda dengan sanksinya yang dinamakan “Tana ale, Pa’a welu”. Maka akan dikenakan denda ‘Seliwu seeko’, sama dengan dua pasang emas dan satu ekor hewan (Kambing dan anjing yang tidak terpakai).
Dari semua uraian ringkas hukum perkawinan adat Lio diatas, kini hukum-hukum perkawinan itu mengalami pergeseran dan terus berevolusi seiring perkembangan yang begitu dasyat, sehingga muncul pula tatacara perkawinan baru yang dapat dikatakan sudah menjadi tradisi adat masyarakat Lio, yaitu perkawinan suka sama suka, yang dikemukakan dengan alasan jodoh atau yang sering dikenal dengan wanita lari ikut pria, dengan tidak meminta pertimbangan orang tua.
Dalam perkawinan macam ini dalam sudut pandang tetua adat Lio, kurang menjamin kemurnian dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kesejahteraannya, sebab tidak memiliki dukungan dari pihak keluarga wanita. (Wanita bisa ditelantarkan dikemudian hari). Namun kini, pandangan itu lambat laun mulai sirna.
Dari ketiga macam perkawinan dalam adat Lio sebagai yang diuraikan diatas, dapat disingkat sebagai berikut:
1. Perkawinan “Dhuku tu-lengge lima”, tujuannya kemurnian darah.
2. Perkawinan “Pa’a tu’a”, tujuannya mempertahankan harta.
3. Perkawinan “Tana ale”, tujuannya memperluas hubungan kekeluargaan.
Perluh diketahui, dari semua jenis perkawinan diatas, perkawinan ‘tana ale’ merupakan salah satu bentuk perkawinan yang benar-benar menguras harta kedua pihak keluarga, karena orang tua kedua bela pihak berusaha mempertahankan wibawa dalam menerima lalu memberi, sehingga timbul suatu perlombaan dimana pihak yang memberi menunjukan kemampuannya, membalas penerimaannya dengan sandang dan pangan yang seimbang atau hampir seimbang nilainya dengan mas kawin atau belis yang diterimanya.
Menurut persepsi masyarakat suku Lio, penerimaan belis yang tinggi, sangat mempengaruhi status keluarga dimata masyarakat, dan dipandang sebagai keluarga terhormat dan bermartabat, sehingga acap kali orang tua wanita meminta mas kawin (Belis) yang cukup tinggi, tetapi mereka juga tentu memperhatikan pembalasaannya dengan sandang dan pangan yang memadai, akibatnya pemberian mas kawin atau belis kadang tersendat atau tidak diberi sama sekali bilah pihak keluarga pria tidak mampu. Itulah yang terjadi saat ini. Akan tetapi, akibat dari perkawinan jenis ini, kebanyakan masyarakat setempat sudah tidak memperhatikan tujuan kemurnian perkawinan itu sendiri, sebab kedua belah pihak selalu memusatkan perhatian pada mas kawin atau belis. Inilah kepincangan nyata yang ada sekarang dalam masyarakat Lio.
Selain dari ketentuan-ketentuan tersebut, ada pula ketentuan-ketentuan yang melarang untuk kawin mawin antara:
*) Saudara sepupu yang pihak ayah beradik kakak.
*) Saudara sepupu yang pihak ibu beradik kakak.
Disamping itu, dilarang pula kawin dengan ayah atau ibu, ayah tiri atau ibu tiri, saudari ayah atau saudari ibu, saudara ayah atau saudara ibu, ayah mantu atau ibu mantu atau juga anak mantu.
Pelanggaran dalam hal ini, dikenakan hukum adat yang berbunyi: “Nia mila, mata ke’o / Bela kela ia sissa”, yang berarti: mata gelap, mengundang malapetaka disambar petir. Sanksinya adalah: “Pini pipi lapi nia / lombu lua” dan ditutup dengan “Mea bela”, (Tutup muka, tutup badan dengan disertai upacara tolak bala supaya tidak disambar petir. Pelanggaran-pelanggarannya​ yang dipandang hina, pada orang yang berpengaruh atau berwibawa hilang, atau kuranglah pengaruh wibawanya, maka masyarakat akan memandangnya rendah sebab mengundang malapetaka dan bencana seperti; bela kela (Disambar petir), kora bere (Banjir dan tanah longsor) dan lainnya menurut kehendak yang dewata.
Perkawinan Adat Masyarakat Sikka
Salah satu suku di pedalaman NTT terdapat peradaban suku Sikka, berikut ini tersaji upacara pernikahannya, sebagai bentuk kepedulian bangsa dalam melestarikan suku budaya dalam konteks perkawinan. Agar nilai nilai luhur budaya dapat diwariskan kepada generasi secara utuh.
Urusan perkawinan antara pria dan wanita merupakan pertalian yang tidak dapat dilepaskan. Hubungan yang menyatu itu terlukis dalam ungkapan Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar (Pertalian ke krabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus menerus dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun temurun.
Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dlam bahasa hukum adat yang disebut Naruk dua-moang dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya.
Ungkapannya antara lain :
– Dua naha nora ling, nora weling
– Loning dua utang ling labu weling
– Dadi ata lai naha letto -wotter
Artinya: Setiap wanita mempunyai nilai, punyai harga, sedangkan sarung dan bajunya juga mempunyai nilai dan harga, sehingga setiap lelaki harus membayar.
Ine io me tondo
Ame io paga saga
Ine io kando naggo
Ame io pake pawe
Ibulah yang memelihara dan membesarkannya
Ayah yang menjaga dan mendewasakannya
Dan ibu pula yang memberikannya perhiasan
Ayah memberikannya sandang.
Ungkapan ini memberi keyakinan bahwa martabat wanita sangat dihargai, oleh karena itu maka pihak klen penerima wanita Ata lai harus membayar sejumlah belis kepada klen pemberi wanita ata dua sesudah itu baru dinyatakan perkawinan seluruh prosesnya syah.
Di Sikka /Krowe umumnya bentuk perkawinan adalah patrilinial, sedangkan yang matrilinial hanya terjadi di wilayah suku Tanah Ai di kecamatan Talibura.
Tahap-tahap perkawinan dapat dilakukan seraya memperhatikan incest dan perkawinan yang tidak dilarang itu maka ditempulah beberapa tahapan:
(1) Masa pertunangan.
Semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari pihak wanita maka selalu disebut dengan unkapan waang tota jarang atau rumput cari kuda atau tea winet (menjual anak/saudari)
Seorang gadis dibelis dalam enam bagian: Kila, belis cicin kawin; djarang sakang, (pemberian kuda); wua taa wa gete, bagian belis yang paling besar dan mahal; inat rakong, belis lelah untuk mama; bala lubung, untuk nenek; ngororemang (mereka yang menyiapkan pesta).
(2) Perkawinan
Sebelum abad 16 di desa Sikka/Lela perkawinan biasanya hanya diresmikan di Balai oleh raja atau pun kadang-kadang di rumah wanita, setelah semuanya sudah siap maka acara perkawinan ditandai dengan mendengar kata-kata pelantikan dari raja, wawi api-ara pranggang, kata-kata yang diucapkan adalah:
Ena tei au wotik weli miu, hari ini ku beri kamu makan wawi api ara pranggang, daging rebus dan nasi masak miu ruang dadi baa nora, jadikanlah kamu istri lai, dan suami lihang baa nora lading, dan terikatan seluruh keluarga gae weu (eung) miu ara, makanlah kamu nasi ini pranggang, agar menjadikan istri dan dadi baa wai nora lain, suami minulah saus daging minu eung wawi api, ini agar eratlah genang lihang nora ladang, seluruh keluarga.
Ucapan itu diiringi penyuapan daging dan sesuap nasi oleh tuan tanah/raja kepada kedua mempelai. Pada waktu masuk agama Katolik, maka ungkapan-ungkpan di atas tetap dipakai namun proses penikahan sesuai dengan aturan agama Katolik dan diberkati oleh pastor.
Ada beberapa tahap dari acara perkawinan secara adat Sikka/Krowe:
1. Kela narang, pendaftaran nama calon pengantin di kantor paroki yang dihantar oleh orang tua masing-masing bersama dengan keluarga.
2. A Wija/A Pleba, keluarga ata lai melaukan kegiatan mengumpulkan mas kawin secara bersama-sama dengan keluarga.
3. Dipihak ata dua terjadi pengumpulan bahan-bahan pesta untuk membuat sejenis kue tradisional yaitu bolo pagar dan mendirikan tenda pesta.
4. Sebelum ke gereja keluarga berkumpul di rumah mempalai wanita. Keluarga penerima wanita atau ata lai bertugas menjaga kamar pengatin.
5. Tung /tama ola uneng, acara masuk kamar pengantin jam 21.00-22.00 malam diiringi kedua ipar masing-masing. Pengatin pria/wanita di hantar ke kamar oleh Age gete dengan nasehat kalau sudah ada di kamar bicara perlahan-lahan
6. Weha bunga sekitar jam 05.00 pagi para pengawal kamar pengantin, ae gete dari keluarga ata lai menaburkan bunga pada kamar pengantin sebagai lambang harum semerbak bagi kedua pengantin.
Perkawinan Menurut Masyarakat Adat Bajawa.
Sebelum diuraikan tentang perkawinan adat Bajawa, terlebih dahulu dibahas tentang perkawinan adat pada umumnya secara sekilas.
Perkawinan Adat Flores pada Umumnya
Makna Perkawinan Adat
Para leluhur telah mewariskan kepada kita tradisi perkawinan dan hidup keluarga yang luhur dan harmonis. Perkawinan tradisional juga mempunyai makna yang mendalam. Konsep perkawinan sebagai persatuan yang subur dan harmonis antara suami dan istri kiranya merupakan suatu bentuk partisipasi aktif dan simbol yang kelihatan dari persatuan atau perkawinan antara unsur-unsur semesta yaitu perkawinan antara unsur pria dari langit di atas dan unsur wanita dari bumi, sebagai dua unsur ilahi yang takterpisahkan dan saling melengkapi. Di sini, perkawinan dilihat sebagai yang menggambarkan dan menandakan sesuatu yang hakiki dari Yang Takterbatas. Yang Takterbatas ini sering dilihat sebagai Bapa langit dan Ibu bumi yang melahirkan segala yang ada dan sumber segala kesuburan dan keharmonisan.
Perkawinan semesta yang bersifat Ilahi itu secara tetap adalah subur dan harmonis, sehingga menjadi model dan contoh bagi setiap hubungan perkawinan antara dua orang atau antara dua keluarga besar. Dan tugas religius yang tertinggi dari hubungan perkawinan ini adalah kesetiaan menghadirkan persatuan antara unsur-unsur semesta di atas dan dengan cara apapun harus memelihara “kesuburan” dan “keharmonisan” hidup. Terkait dengan hal ini, masyarakat Flores adalah masyarakat agraris yang sangat menghargai makna kesuburan sebagai suatu unit produktif.
Keluarga produktif adalah keluarga yang pada dasarnya mengolah warisannya (tanah dan sebagainya) untuk memperoleh nafkah hidup. Mereka hidup dari memproduksi warisan. Jadi, unit keluarga ini merupakan suatu unit ekonomis.
Hukum adat tentang warisan tanah dan hukum adat tentang belis (perpindahan wanita pada suku lain) saling terkait satu sama lain. Seluruh sistem nilai keluarga produktif termasuk makna, tujuan, hak dan kewajiban sangat ditentukan oleh bentuk dasar produktif ini.
Karena nilai-nilai keluarga produktif masyarakat agraris ini terarah pada kesuburan dan penggandaan harta (anak dan kekayaan), maka tujuan keluarga produktif adalah mempertahankan dan memperluas rumah serta keturunan.
Unsur-unsur Perkawinan Adat
Persetujuan Kedua Belah Pihak (timbal-balik)
Sudah menjadi tradisi bahwa suatu perkawinan bisa terwujud jika ada kesepakatan kedua belah pihak, baik secara pribadi maupun melibatkan keluarga besar. Kedua pihak berkumpul dan merundingkan untuk menentukan “belis” (mas kawin). Dalam perundingan itu tentu ada pihak-pihak yang berhak menentukan serta mengurus jalan dan prosesnya seturut adat dan sistem perkawinan yang berlaku di daerah masing-masing. Urusan adat perkawinan ini dijalankan hingga kedua calon menikah.
Penyerahan Belis
Unsur ini harus dipenuhi oleh pihak yang dikenai belis (mas kawin). Makna dan pengertian “belis” berbeda-beda untuk masing-masing daerah. Ada yang mengartikan “belis” sebagai sarana untuk membeli perempuan, ada juga yang mengartikan sebagai penghargaan atau imbalan kepada kedua orang tua dari kedua belah pihak. Sedangkan besarnya belis yang akan diserahkan juga tergantung dari sistem perkawinan yang berlaku. Belis tersebut dapat diserahkan sekaligus dan ada pula yang bertahap berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak dan menurut adat yang berlaku.
Tujuan Perkawinan Adat
Tujuan pokok dari perkawinan adat adalah mendapatkan keturunan terutama anak laki-laki pada daerah yang menganut sistem patriarkat. Anak laki-laki inilah yang diharapkan akan meneruskan nama keluarga ayahnya. Di sisi lain, pada sistem perkawinan matriarkat, yang dikejar dalam perkawinan adalah anak wanita, karena melalui dia keturunan ibunya akan diteruskan dan diperkuat. Jelas bahwa perkawinan adat sangat menjujung tinggi nilai kesuburan. Jika perkawinan tidak mendapatkan anak, maka bagi sebagian orang perkawinan tersebut dianggap gagal.
Ciri-ciri Perkawinan Adat
Dalam tradisi perkawinan adat, terdapat dua ciri yang paling menonjol. Pertama, perkawinan adat menekankan proses. Artinya, perkawinan dilihat sebagai suatu proses yang ditandai dengan urusan “belis” yang berkesinambungan. Perkawinan bukan hanya suatu upacara atau suatu kontrak yang terjadi pada suatu saat, melainkan suatu peristiwa sepanjang hidup dari suami-istri dalam hubungannya dengan keluarga besarnya. Proses ini sepertinya berpuncak pada saat kedua orang yang menikah itu boleh mengalami masa tua, dikelilingi oleh anak dan cucu dan mengalami keharmonisan.
Kedua, perkawinan adat sangat menekankan segi sosial dari perkawinan. Dalam perkawinan tradisional, urusan perkawinan merupakan urusan semua keluarga. Kepentingan keluarga sangat menentukan pilihan jodoh, dan kepala keluargalah yang mengurus perkawinan anak-anaknya. Mereka yang baru menikah harus menyesuaikan diri dengan keluarga besar, karena keluarga besarlah yang memberikan pekerjaan, warisan, perlindungan dan kekuatan kepada mereka.
Perkawinan Adat Bajawa
Arti dan Makna Perkawinan Adat Bajawa
Arti dan makna perkawinan dalam masyarakat Bajawa dapat dibaca dalam kata-kata kunci yang diapakai pada saat perkawinan adat. Salah satu kata kunci yang dipakai adalah “Buri Peka Naja, Logo Bei Ube” (pantat telah menyentuh lantai dan pungung pun telah bersadar pada dinding). Buri adalah “pantat,” peka “menyentuh,” naja berarti “pelupu yang menjadi lantai rumah adat.” “Buri” ini menjadi simbol pria, “Naja” adalah simbol wanita yang menjadi calon istri. “logo’ adalah punggung yang menajdi simbol pria. Sedangkan “ube” adalah dinding papan rumah adat sebagai simbol wanita calon istri yang menjadi pemilik rumah dan pemilik ketangguhan dan keselamatan hidup.
Dari penafsiran atas ungkapan ini dapat disimpulkan bahwa menurut adat Bajawa, perkawinan merupakan persatuan kedua insan yang berbeda jenis kelamin untuk membangun kehidupan bersama dalam keselamatan dan tangguh dalam menumbuhkan keturunan mereka. “Buri peka naja, Logo bei ube” adalah simbol perkawinan tradisional Bajawa untuk meyatukan kedua insan yang berbeda jenis kelamin yang telah membentuk kehidupan dalam satu rumah.
Sistem Perkawinan Adat Bajawa
 Ditinjau dari segi suku
Ditinjau dari segi suku ada dua sistem perkawinan Adat. Pertama, sistem perkawian endogami. Menurut sistem ini perkawinan terjadi di antara sesama kesatuan masyarakat hukum adat atau marga yang sering disebut “go sama one” baik untuk lingkup “woe” (kelompok masyarakat adat yang lebih kecil dari suku), maupun dengan sesama anggota kampung yang artinya masih keluarga jauh. Tujuaannya pernikahan jenis ini ada dua:
1) Kago sama sao wea nao mae galo: artinya, perkawinan di antara anggota suku sendiri guna menghindari belis atau mas kawin. Perkawinan jenis ini sering terjadi antara saudara sebuyut. Tujuannya, untuk memperteguh hak dan kewajiban dalam kesatuan masyarakat hukum adat.
2) Po Tolo Kobho Nau Wawo Ngima: perkawinan di dalam sesama dalam kesatuan masyarakat hukum adat yang segeneologis (woe). Tujuannya, juga tetap sama yakni menjaga agar harta benda tidak mengalir pihak lain melalui belis.
Kedua, sistem perkawinan eksogami. Artinya, perkawinan yang dilakukan antara kedua pasangan dari kesatuan teritorial yang lebih luas dari kampung halaman sendiri. Perkawinan dengan sistem ini disebut “kadhi bata.” Sistem ini juga tetap berpegang pada prinsip bahwa pasangan tetaplah seasal, sedarah, seketurunan dari kelurga yang telah lama melakukan perkawinan ke luar. Intinya, tetap sama yakni perkawinan dilakukan di antara keluarga sendiri.
Dilihat dari Segi Rumah
Dari segi ini juga dikenal dua jenis perkawinan. Pertama, perkawinan “dii sao” merupakan bentuk perkawinan yang lazim terjadi. Bentuk perkawinan ini sesuai dengan sistem kekerabatan matilineal menurut garis keturunan ibu. Di sini, wanita menjadi ahli waris atas semua harta milik dari keluarga di mana wanita itu tinggal. Dari bentuk perkawinan ini, suami menjadi pendatang dalam rumah istrinya atau yang dikenal dengan nama “ana ngodho mai.” Suami datang, tinggal dan bekerja di rumah istrinya. Sebagai pendatang, suami tidak terhitung sebagai anggota rumah dan tak mempunyai hak atas semua harta warisan yang ada di dalam rumah istrinya. Yang berhak adalah istrinya, sedangkan pengaturannya diurus oleh saudara istrinya. Relasi kunci yang terjadi di sini adalah relasi “paman-anak” dan bukan “bapak-anak.” Masa depan anak-anak, hasil perkawinan “dii sao” bukan berada di tangan ayahnya, tetapi berada di tangan pamannya.
Kedua, perkawinan “pasa” atau belis. Perkawinan “pasa” adalah bentuk perkawinan di mana istri dibelis oleh pihak keluarga suami. Anak-anak hasil perkawinan ini mengikuti garis keturunan bapak, memiliki hak atas harta warisan ayah. Namun, mereka tetap harus taat kepada anak-anak saudari ayahnya, jika ada. Akan tetapi, biasanya sangat jarang karena perkawinan jenis ini dilakukan bila di dalam rumah sang ayah tidak ada saudari yang berhak atas segala warisan di dalam rumah tersebut.
Tahap-tahap Perkawinan Adat Bajawa
Tahap Perkenalan dan Pacaran (Papa Tei Tewe Moni Neni)
Tahap ini merupakan tahap mencari jodoh yang dilakukan sendiri oleh sang pria. Hasil temuannya disampaikan kepada orang tuanya untuk diproses lebih lanjut dengan tata urusan yang mulai melibatkan keluarga besar dan anggota suku. Pada tahap ini ada beberapa sub-tahap yang harus dilewati lagi.
a. Beku Mebhu Tana Tigi (hancurnya dedaunan di sepanjang jalan dan padatnya tanah yang sering dilalui). Disebut demikian karena inilah yang dinamakan dengan tahap penjajakan yang bukan dilakukan oleh pemuda kepada pacarnya, tetapi oleh ibunya. Ibu sang pemudalah yang aktif ke rumah calon besannya untuk menjajaki kenyataan perilaku dan sifat gadis idaman anaknya dan berupaya mendapatkan kepastian apakah gadis yang bersangkutan sungguh-sunguh bebas dari incaran pria lain selain putranya.
b. Bere Tere Oka Pale (meletakan tempat untuk sekapur sirih). Inilah tahap peminangan atau melamar. Di sini, pihak lelaki mengutus duta peminangannya yang terdiri dari saudari kandung dan beberapa wanita lainnya yang dianggap layak dan mampu bersekapur – sirih dengan pihak gadis pinangan dan keluarganya. Hal ini dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk diketahui oleh seisi kampung bahwa gadis itu telah dipinang (dilamar). Acara ini dilakukan dengan penuh persaudaraan dan keakraban sebagai suatu kerabat yang saling menerima dalam satu ikatan.
c. Nasa. Berarti, kedua calon suami-istri menjalankan pencocokan tingkah laku atau tahap penyamaan persepesi, visi dan misi, sebelum menikah secara adat. Masa ini boleh disebut sebagai masa pertunanganan.
d. Zeza: yang merupakan upacara peresmian atau pengesahan perkawinan secara adat. Dalam upacara zeza ini akan dilakukan beberapa ritus pokok:
1. Zia Ura Ngana. Pada waktu ritus ini, babi dan beras diletakkan pada tempat yang sama lalu didoakan oleh tua adat kemudian dimasak untuk dimakan dalam acara tersebut. Setelah beras dan babi diletakan di depan pintu rumah adat, didoakan oleh tua adat, kedua calon diminta untuk duduk di “mata raga” (altar korban dalam rumah adat) yang diapiti oleh sanak saudara dari kedua belah pihak. Saudara pengantin wanita diminta untuk membawa babi dan beras yang disimpan di atas kepala babi sambil berkata sebagai berikut: “zia ura ngana dia, tewe dia da buri peka naja, logo bei ube, wi zeza ana kami (….nama), ulu wi tutu, kage wi gebhe huy nee maki zeza (fai nee hak) wi moe go wea da lala dhape, dua wi penga dua, nuka wi penga nuka. Tee setoko, lani setebu,kami wi bhe nee nitu zale ngadhu nee bhaga, sus keri asa kae nusi nange kajo pera, ine ame mai wi dii utu meda mogo, padha wi meze aze, wi lewa pipi wi mae isi, pasu wi mae nau, wiwi le gaja rae, zala wigoda gai. Ngana kau bhara ura zia,pedhu benu lie seko, kau ba se gebu, ketu kau ba le todho ngadho, kabu peda kau ba le teme. Wiwi kau ba le gaja rae. Dia jao wela kau seteka mata mema.” Artinya: “sucilah seluruh makanan ini di saat upacara pernikahan anak kami (nama kedua mempelai) ini, yang kami hadirkan ya Penguasa lagit dan bumi, Leluhur terpokok Oba dan Ngana, leluhur pokok turunan Teru dan Tena, leluhur pokok pria dan wanita dari kesatuan masyarakat hukum adat ini, para pelindung rumah leluhur, pemberi ajaran dan pengetahuan. Para orang tua yang telah tiada untuk bersama kami menyaksikan guna melindungi mereka bagi persatuannya yang agung berkelanjutan untuk mejadi suami-istri yang bersatu padu takterceraikan seakan emas yang disepuh-leburkan jadi satu. Sekiranya permohonan kami ini berkenan di hati kalian, para leluhur dan pra orang tua. Tunjukkanlah pada urat-urat hati babi ini, yakni empedunya penuh, buah kecipirnya serangkai dengan hati tanda kewibawaan berkekuatan tegaknya…)
2. pengurapan darah babi pada pengantin: darah babi yang dioleskan di dahi merupakan penegasan seorang laki-laki memasuki rumah wanita. Hal ini didasarkan atas sistem perkawinan matriarkat yang berakibat bahwa wanita yang berperan sebagai penguasa sedangkan suami sebagai pembantu. Saat pengurapan dengan darah babi, tua adat mengucapkan kata-kata: “dia wi toro papa bhoko, mite mata raga da toa gha nee ulu beo gha nee eko.” Artinya: “anak lelaki ini kini diserahkan sebagai suami anak kita (nama penganti wanita tersebut) dan menjadi pembantu dalam rumah ini.” Dengan upacara ini seeorang pria yang menjadi calon suami si gadis resmi menjadi suami si gadis untuk seterusnya bersama istrinya mengatur kehidupan bersama dalam keluarga.
3. Tota ura ngana: untuk membaca kehendak penguasa langit dan bumi dan para leluhur guna membimbing, melindungi pengantin sesuai dengan permohonan yang diharapkan dalam pengucapan doa.
4. Bau gae: persembahan atau penyajian yang suci kepada penguasa langit dan bumi dan para luluhur sekaligus memohon perlindungan dan naungan itu.
5. Zeza: pemberian makan makanan utama berupa daging babi dan nasi yang disucikan kepada pengantin lelaki sebagai ujud untuk sudah boleh hidup bersama.
6. Ritus Penutup: acara penutup sering disebut dengan “Ka toka inu sobhe, lese dhe peda pawe.” Yang merupakan makan bersama penutup bagi semua yang hadir pada upacara tersebut.
Biasanya setelah semua proses ini berlangsung, dengan sendirinya kedua mempelai ini boleh tinggal serumah, tidur bersama dan melakukan aktivitas layaknya sebagai suami-istri tanpa terlebih dahulu mengesahkan perkawinannya di Gereja. Perkawinan adat ini masih berpengaruh kuat sampai dengan saat ini. Hukum Adat dan Hukum Gereja masih kelihatan sama kuatnya. Karena itu, perlu dilihat sikap-sikap yang tepat untuk mengatasi hal ini.
Sifat Perkawinan Adat Bajawa
Dari kata-kata doa dan nasehat serta simbol-simbol yang digunakan dapat dikatakan bahwa perkawianan adat Bajawa bersifat monogam dan takterceraikan. Hal ini terbukti pada saat upacara perkawinan adat di mana bahasa-bahasa adat yang digunakan pada saat peresmian perkawinan tersebut berbunyi “yang senantiasa bersatu dan takterceraikan.”
Sikap yang Tepat Terhadap Warisan Budaya
Terhadap warisan budaya lokal sebelum adanya kristianitas, ada beberapa sikap yang bisa ditempuh oleh insan beriman kristiani berhadapan dengan budayanya:
a. Menerima seluruh proses perkawinan adat setempat sebagai sesuatu yang dianggap penting juga sebelum diresmikan secara sakramental.
b. Kita juga bisa secara relistis mengevaluasi dan melihat bahwa mungkin saja proses itu sudah tidak bisa dihayati secara penuh dan perlu diakui perubahan yang disebabkan oleh modernisasi yang juga membawa nilai baru seperti penghargaan, pathnership, dan cinta personal yang semuanya ini kurang begitu tampak dalam perkawinan adat Bajawa.
c. Dari segi hukum, kita harus juga mencoba untuk mencari tempat yang cocok untuk mengintegrasikan tuntutan hukum gereja ke dalam proses perkawinan adat tersebut.
d. Dari segi iman dan sakramentalitas perkawinan: seluruh proses dan segala aspek serta perubahan-perubahannya sepenuhnya kita serahkan kepada Kristus. Ia akan menyembuhkan dari segala dosa egoisme serta pelbagai pengaruh, kemudian mengembangkannya dalam opsi Kerajaan Allah. Secara konkret hal ini berarti kita harus mempertemukan dan dengan bantuan rahmat Allah untuk memurnikan proses perkawinan dan pelaksanaannya menjadi suatu Sakramen Kerajaan Allah.
Penutup
Jelaslah bahwa perkawinan adat Bajawa sesempurna apapun dan walaupun sifatnya sudah sangat mengikat, monogam dan takterceraikan, tetap bukan merupakan sebuah sakramen. Karena itu, di akhir semua tahap tersebut sebaiknya dipikirkan juga untuk sesegera mungkin menindaklajutinya dengan proses-proses yang lazim dalam tahap-tahap perkawinan Kristiani agar perkawinan tersebut bernilai sakramntal dan bukan hanya menjadi realitas manusiawi belaka.
Segi personalitas kurang tampak di dalam perkawinan adat Bajawa. Yang dominan adalah segi sosialnya. Kesepakatan tibal-balik antara kedua pasangan dan bukan hanya “antara kedua pihak keluarga” harus lebih ditonjolkan lagi. Sebab perkawinan Kristiani lebih menuntut kesepakatan timbal-balik dari masing-asing pasangan dengan hati yang bebas dan bukan karena tekanan sosial oleh keluarga dan masayrakat adat.
Perkawinan adat Bajawa yang bercorak matriarkat melahirkan pola relasi suami-istri yang tidak adil. Artinya, pola realasi istri sebagai tuan sedangkan suami sebagai pembantu. Hal ini tidak sejalan dengan semangat perkawinan Kristiani seperti yang terungkap dalam Gaudium et Spes tentang unsur patnership dalam membangun hidup bersama.
Tanggung jawab atas pendidikan anak juga kurang menjadi fokus perhatian dalam perkawinan adat Bajawa. Anak masih dilihat sebagai aset keluarga dan tenaga kerja baru dalam unit produksi keluarga. Karena itu, perlu diindahkan harapan Konsili Vatikan II yang tertuang dalam Gaudium et Spes tentang tujuaan perkawinan Kristiani dan yang ditegaskan lagi dalam KHK 1055, par.1 tentang tujuan perkawinan yakni: kesejahteraan suami istri & kesejahteraan anak: kelahiran dan pendidikan anak.
Sumber : gema-budaya.blogspot.com/

Leave a Reply

Jumat, 27 Februari 2015

BUDAYA NAGEKEO


Gua Ru, Ritual Memanggil Hujan

Sebelum bercocok tanam, masyarakat adat suku Lape di Kabupaten Nagekeo, biasa mengadakan ritual adat yang dinamakan gua ru. Secara harafiah, gua ru artinya ritual musim hujan. Maksud dari ritual gua ru adalah memanggil hujan untuk membasahi lahan bertani sehingga tanaman dapat tumbuh subur dan membawa hasil yang melimpah

RITUAL adat gua ru biasanya dilakukan sebelum musim hujan tiba. Semua anggota suku, atau lazim disebut woe, wajib mengikuti semua rangkaian ritual adat gua ru di Ola Lape atau kampung adat Lape. Ola Lape adalah tempat utama dalam setiap rangkaian ritual adat, di mana terdapat rumah adat dari masing-masing suku atau woe.
Satu minggu sebelumnya, ketua suku–pemangku adat pada ritual gua ru yang sudah ditentukan–menyampaikan bahwa akan diadakan ritual tersebut kepada setiap anggota suku atau woe pada masing-masing rumah adat. Sehingga masing-masing anggota suku mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan selama proses ritual gua ru.
Gua ru kali ini akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Satu hari sebelumnya, semua anggota suku sudah berada di Ola Lape untuk menyiapkan beberapa bahan seperti kayu api, tempat ritual, dan beberapa persiapan di rumah adat (sa’o) masing-masing.
Setiap anggota suku atau woe yang hendak mengikuti perayaan adat ini, wajib membawa ayam kampung sebagai persembahan kepada leluhur suku Lape. Dahulu sebelum agama-agama dari ‘tanah seberang’ memasuki Ola Lape, kepercayaan rakyat Lape berpegang teguh pada tradisi warisan leluhur ini.
Mosalaki utama sedang melakukan ritual esu podo rawu, salah satu tahapan prosesi gua ru. (Foto: FBC/Ian Bala)
Mosalaki utama sedang melakukan ritual esu podo rawu, salah satu tahapan prosesi gua ru. (Foto: FBC/Ian Bala)

Tahap Ritual
Ada beberapa tahap ritual gua ru suku Lape. Di antaranya, pertama: Pogo Sora Pase atau tahap potong bambu (aur untuk sora), potong kayu untuk api unggun, dan potong bilah bambu untuk api penyuluh. Tahap ini dilakukan pada hari sebelum melakukan ritual utama gua ru. Meskipun masih tahap persiapan, menurut rangkaian ritual gua ru termasuk dalam rangkaian secara keseluruhan.
Kedua, Relo Sora Pase. Tahap ini adalah ketika ketua suku masing-masing sa’o (rumah adat) menyalakan api pada bilah bambu dari lika lapu atau dapur dalam rumah adat lalu dipanaskan pada aur (sora) yang disimpan di depan sa’o. Tahap ini bermaksud supaya tanaman (padi) bertumbuh subur dan membawa hasil yang baik.
Ketiga, Zago Podo. Artinya gladi resik untuk ritual esok harinya. Zago Podo ini dilakukan di Sa’o Waja Kebe Riwu atau di rumah adat utama seorang kepala suku sebagai pemandu ritual berikutnya. Pada intinya, tahap ini untuk melatih ritual yang akan terjadi pada hari berikutnya, sehingga tidak terjadi kesalahan. Jika terjadi kesalahan akan berakibat fatal bahkan dapat menelan korban jiwa seluruh anggota suku yang terlibat dalam ritual itu. Tahap ini diikuti semua ketua suku dari masing-masing sa’o. Ketiga tahap ini, dilakukan pada malam pertama di Ola Lape.
Keempat, Kema Ruba. Tahap ini dilakukan pada hari kedua. Semua anggota suku–khusus laki-laki–membuat ruba atau tenda untuk tempat berteduh saat ritual berlangsung. Pembuatan ruba dilakukan di Kuka (kampung pertama Lape) sekitar satu kilometer dari sa’o. Kuka adalah nama tempat di mana ritual gua ru dipusatkan.
Setiap sa’o memiliki satu ruba. Ukuran ruba sesuai dengan keinginan anggota suku, namun tidak lebih besar dengan ruba utama sebagai pusat ritual. Di dalam ruba terdapat tiga buah batu untuk tempat duduk saat anggota suku istirahat. Batu tersebut ditanam berjejeran.
Kayu-kayu api yang sudah disiapkan pada tahap pertama, disusun ditempat api unggun, berdekatan dengan ruba. Kayu-kayu tersebut akan dibakar selama proses ritual dan tidak boleh padam. Jika api di salah satu ruba padam, maka seluruh anggota suku dalam ruba tersebut akan meninggal dunia. Begitu mitos yang dipercayai suku Lape ini. Setiap ruba bersama-sama mengerjakan ruba utama
Masing-masing ruba sedang mengambil api di api unggun utama. Sepanjang ritual api harus menyala terus. (Foto: FBC/Ian Bala)
Masing-masing ruba sedang mengambil api di api unggun utama. Sepanjang ritual api harus menyala terus. (Foto: FBC/Ian Bala)
Kelima, Dhaki Api. Pemangku adat utama (mosalaki) di sa’o kebe riwu mulai memasang api di sa’o pu’u. Mosalaki keluar dari sa’o pu’u sambil memegang bilah yang sudah dipasang api lalu mengumumkan kepada seluruh anggota suku di Ola Lape dengan menggunakan bahasa adat atau Pata:
Zele ulu lau eko, pipi zili ghoe lau
Ni kita gedho ana kedhi
Artinya : orang di atas, di bawah dan sebelah kiri dan kanan. Kita mau keluar menuju Kuka.
Mosalaki bersama pemangku adat lainnya melakukan arak-arakan menuju Kuka. Perarakan tersebut secara berurutan sesuai dengan sa’o adat mulai dari Pemangku adat (mosalaki), suku Nakanawe, Roga Wawo, Roga Au, Naka Zeta Wawo, Naka Zale Au, Woe Renge dan terakhir suku Ko.
Semua anggota suku mulai dari anak-anak sampai orang dewasa menuju Kuka untuk mengikuti ritual gua ru. Masing-masing rumah adat membawa serta sora pase.
Mosalaki yang menjadi pemandu rituan gua ru mulai memasang api di panggung utama yang dinamakan Rada Garo–tempat api unggun utama–. Api yang sudah dipasang tidak boleh padam selama masih ritual gua ru. Masing-masing ruba bertanggung jawab atas api unggun utama. Selalu menghidupkan api unggun utama, jika api padam menurut kepercayaan suku Lape, seluruh anggota suku yang terlibat dalam ritual tersebut akan meninggal dunia.
Setiap ruba mulai memasang api di Rada Garo sesuai dengan urutan perarakan sebelumnya. Api tersebut kemudian dipasang di ruba masing-masing yang sudah disiapkan sebelumnya. Setiap ruba terus memastikan api di masing-masing ruba dan di Rada Garo agar tidak padam.
Keenam, Esu Podo Rawu. Sebelum melakukan esu podo rawu, para mosalaki mencari dua ana weta (pihak perempuan atau saudari) dan dua ebu ta’u (pihak Om atau paman) yang diwakili anak-anak. Ana weta dan ebu ta’u ini bertujuan untuk memberikan makanan dan moke atau tuak. Tuak tersebut dituangkan di dalam podo rawu (periuk tanah dari puluhan abad yang lalu) yang dikendalikan oleh mosalaki pu’u.
Podo Rawu tersebut diisi tuak oleh ana weta dan ebu ta’u lalu diputar lima kali ke arah kiri oleh mosalaki pu’u. Setelah putar lima kali, mosalaki menuangkan tuak yang ada di podo ke tanah sambil berkata:
Uza mai, wae pare, reti wete, pesa reke manu
Artinya : memanggil hujan agar padi bisa tumbuh subur.
Ketujuh, Gae Pare. Ana weta mulai cari bibit pare atau bibit padi sambil jalan keliling ebu ta’u yang duduk berhadapan dengan mosalaki pu’u. Ebu ta’u mulai menanyakan: miu gae apa? (kamu cari apa?) Jawab ana weta: kami gae pare (kami cari padi). Jawab ebu ta’u: ngaza miu gae pare, dheo ebu rumi le dia (kalau kamu cari padi bawa ebu rumi ke mari).
Ebu Rumi adalah telur ayam yang menyimbolkan benih padi. Ana weta mulai menyerahkan telur ayam kepada ebu ta’u dan diletakan di antara batu yang diduduki oleh ebu ta’u. Ana weta menuju ke arah telur tersebut lalu menginjak sampai telur itu pecah. Isi telur tersebut melambangkan benih padi yang siap untuk ditanam.
Ritual gua ru tersebut dilanjutkan makan bersama atau nalo. Masing-masing ruba mengantarkan makanan (nasi) dan daging babi kepada mosalaki pu’u, ana weta dan ebu ta’u untuk nalo.
Anak perempuan dari masing-masing ruba mulai nalo bersama namun dilakukan di rubanya masing-masing, tidak bersamaan dengan mosalaki pu’u, ana weta dan ebu ta’u. Makna dari nalo tersebut adalah mengucap syukur kepada atasannya (leluhur) yang telah memberikan hujan dan benih padi.
Semua perempuan mulai meninggalkan Kuka. Pihak laki-laki mulai nalo bersama secara keseluruhan. Namun, sebelumnya masing-masing ruba mulai mengantar makanan (nasi) dan daging babi secara bergantian antara ruba yang satu dan ruba yang lain. Maksudnya, untuk mengenal pihak keluarga antara pihak ana weta, ame nara dan ebu ta’u. Jika ame nara mengantar nasi ke ebu ta’u atau ana weta, maka mereka membalasnya dengan daging babi. Begitu pula sebaliknya.
Gedho Ata Ga’e
Gedho ata ga’e dilakukan setelah beberapa tahap ritual selesai. Tahap ini, masing-masing suku membawa ayam, nasi di periuk tanah (podo awu) dan isi pase (kayu berbentuk isi tombak) dari sa’o.
Setelah tiba di Kuka, setiap ruba sudah menyiapkan sora pase untuk melakukan ritual. Sora dipotong dua ruas bagian pangkal lalu masukan isi pase pada ruas sora. Sora didirikan di atas batu depan ruba lalu potongan sora (bambu) tadi ditanam dan diikat bersama sora. Masing-masing ruba pastikan bahwa sora tersebut berdiri kuat agar tidak mudah tumbang.
Pemangku adat sedang menyiapkan upacara adat gua ru. (Foto: FBC/Ian Bala)
Pemangku adat sedang menyiapkan upacara adat gua ru. (Foto: FBC/Ian Bala)
Setelah itu, salah satu anggota suku (laki-laki) memegang kepala ayam lalu memukul kepala ayam hingga mati. Darah ayam membasahi sora, isi pase, sobha mata leza (bere), wea (emas), beka feka (bere kecil) dan gebe atau kalung emas.
Ayam tersebut dibakar di masing-masing ruba lalu melihat petunjuk isi perut tentang hasil panen. Kalau ada sesuatu hal yang aneh di isi perut ayang—hati dan usus–biasanya membawa dampak buruk bagi hasil panen musim mendatang.
Setelah itu semua kepala suku melakukan tarian (teke). Teke ini adalah tarian melingkar seperti gawi. Dalam teke ada sadho oleh seorang ketua suku yang ditentukan. Sadho itu adalah syair lagu untuk memanggil hujan. Tarian teke ini berlangsung lama sebab ada banyak syair beruntun yang harus diucapkan satu-persatu.
Setelah tarian teke, dilanjutkan dengan makan bersama atau nalo. Namun, sebelumnya masing-masing ruba menghantar makanan dan daging kepada ruba yang lain untuk mengenal keluarga (ana weta, ebu ta,u dan ame nara ) seperti tahap sebelumnya.
Selanjutnya dilakukan teke secara bersama-sama di Ola Lape. Tarian teke ini untuk memanggil air hujan agar membasahi tanah sehingga tanaman padi mereka bisa bertumbuh subur dan membawa hasil berlimpah.(*)
Penulis : Ian Bala
Editor: EC. Pudjiachirusanto



BUDAYA SIKKA

 Konsep Ketuhan dan Budaya  Sikka

"Ina nian tana wawa // ama lero wulan reta"
 ( Sang Pencipta Penyebab Tertinggi yg menjadikan langit dan bumi )
Sumber:  https://www.facebook.com/yonivantri

 

 

 


Piterson Makin Sulit Dapat Gading

Sumber:  http://kupang.tribunnews.com/2015/08/16/piterson-makin-sulit-dapat-gading

 

Minggu, 16 Agustus 2015 07:09

Piterson Makin Sulit Dapat Gading
PK/RIS
Felixius Piterson Kabupung
POS-KUPANG.COM, MAUMERE --- DI Kabupaten Sikka, NTT, gading (bala), emas (bahar), perak, kuda (jarang) dan uang (hoang) merupakan mas kawin atau biasa disebut belis Du'a Ling Weling.
Belis adalah langkah awal yang harus dilalui seorang pria sebelum menikahi seorang wanita di Sikka. Unsur belis berupa gading batangan, kuda, emas, uang dan barang lainnya.
Salah satu belis adalah batangan gading (gading utuh, taring gajah) itu merupakan harga mati untuk mengimbangi harga diri dan nilai setiap wanita yang dipinang, dikawini dan yang akan menjadi anggota keluarga suku. Belis harus diserahkan pihak keluarga pengambil wanita -(h) ata me wai pu la'i - kepada keluarga pemberi (h) ata (h) ina- (h) ama yang telah melahirkan dan membesarkannya.
AM Keupung, tokoh masyarakat Kabupaten Sikka mengatakan, belis dalam bentuk batangan gading saat ini tidak mutlak harus dipenuhi keluarga pria. Sudah ada perubahan dan keringanan yang diberikan oleh keluarga wanita terhadap keluarga pria untuk mengganti belis gading.
Saat ini sebagai pengganti gading, orang bisa membawa emas, kuda dan uang. Dalam istilah adat Sikka disebut dengan agar. "Jika tidak ada gading, agar-nya itu apa? Agar- nya itu bisa kuda, bisa uang," kata AM Keupung, di kediamannya, Rabu (12/8/2015).
Sejumlah keluarga di Sikka sudah semakin maju, dan makin berpikir rasional. Bahkan, saat ini gading batangan telah diolah menjadi barang aksesoris seperti cincin, mata kalung, gelang, pipa rokok, tongkat, dan lainnya. Karenanya, gading batangan utuh hampir sulit ditemukan lagi di Sikka.
Bagi sebagian masyarakat Kabupaten Sikka, aksesoris yang terbuat dari gading merupakan bagian dari barang-barang adat yang bisa menjadi belis. Tak mudah membuat aksesoris berbagai bentuk atau model dari gading. Dibutuhkan keterampilan dan pengalaman. Dan di Maumere, Ibu kota Kabupaten Sikka, tidak banyak orang yang bisa menekuni profesi sebagai pengrajin gading.
Felixius Piterson Kabupung (60), warga Sikka itu sudah sejak tahun 1980-an menjadi pengrajin gading. Ditemui di bengkelnya di Jalan Patiranga, Kelurahan Beru, Jumat (14/8/2015), Piter mengaku saat ini gading batangan di Sikka semakin kurang.
Meski demikian, Piter yakin gading akan selalu dibutuhkan dan akan diperolehnya dari sejumlah masyarakat.
"Ada saja yang bawa jual gading batangan ke sini. Mereka butuh uang sehingga mereka jual gading. Lebih banyak masyarakat dari Flores Timur. Kalau masyarakat Sikka sudah sedikit yang punya gading batangan," kata Piter.
Di tangan Piter, sebatang gading bisa 'disulap' menjadi berbagai jenis dan model aksesoris yang eksotik dan elegan. Sebut saja gelang, cincin, anting, giwang, tusuk konde, tongkat, dan berbagai aksesoris lainnya bisa 'diciptakan' Piter.
Bahkan akhir-akhir ini Piter bisa memodifikasi aksesoris gadingnya itu dengan balutan emas dan batu akik. Namun piter tidak menerima pembuatan batu akik.
Piter selektif saat membeli gading. Piter punya aturan main bahwa dia tidak akan pernah membeli gading batangan yang baru atau muda. Karena itu diprediksi adalah gading yang baru diambil dari gajah, entah dari mana.
"Hewan gajah itu dilindungi dan saya menghargai hal itu. Karena itu, saya tidak pernah mau membeli gading baru. Yang saya beli adalah gading lama yang merupakan warisan," ujarnya.

Piter mengatakan, harga gading cukup mahal. Misalnya, gading batangan dengan berat sekitar 20 kilogram, harganya mencapai Rp 300 juta. Piter mengatakan, di Sikka ada gading batangan yang disimpan di rumah adat Watublapi-Sikka, panjangnya mencapai tiga meter.
"Gading di Watublapi itu hanya bisa dilihat orang lain setelah digelar upacara adat. Tapi orang yang mau melihat gading itu harus mengeluarkan uang paling kurang Rp 2 juta untuk membiayai upacara adat. Itu juga hanya diberi kesempatan melihat gading batangan sekitar dua atau tiga menit saja," kata Piter.
Menurut Keupung, beberapa tahun terakhir ini, gading batangan yang beredar di Sikka didatangkan dari luar, seperti dari Flotim. "Gading di Flotim itu lebih banyak daripada gading batangan yang ada di Sikka sekarang," kata Keupung.
Saat ini juga, anggapan bahwa gading itu merupakan gengsi, sudah tidak ada lagi. Nilai gading belis saat menikah itu lebih dilihat sebagai bentuk penghormatan kepada pihak perempuan. "Gading itu simbol penghargaan terhadap perempuan. Namun saat ini gading batangan sebagai belis sudah tidak mutlak lagi," ujarnya.
Bahkan ada kasus, ketika pihak lelaki membawakan batangan gading, malah ditolak olah keluarga perempuan. Mungkin karena gading yang dibawa itu telah dipotong menjadi aksesoris.
"Orang sudah tidak terlalu menuntut belis seperti belis itu harus ada dua batang gading, uang Rp100 juta dan lain sebagainya. Permintaan semacam itu hampir tidak dipraktekan lagi," kata Keupung.


News Analysis oleh Oscar Mandalangi Pareira
(Budayawan Sikka)
 Sumber:
http://kupang.tribunnews.com/2015/08/16/oscar-mandalangi-pareire-hormati-hukum-adat
POS-KUAPNG.COM, MAUMERE --- Mahar belis atau bala atau mas kawin antara lain berupa gading yang disebut Du'a Ling Weling (bahasa Sikka) itu sebenarnya bukan hanya berlaku di Kabupaten Sikka.
Karena hukum adat seperti itu sampai kini masih dipertahankan di hampir seluruh daerah di NTT seperti Flores, Alor , Sumba dan Timor.
Dua tokoh wanita utama etnis Sikka melahirkan dan mewariskan filosofi Du'a Ling Weling, Nilai dan Harga Diri Wanita pada abad ke-16 dan 17 di Kerajaan Sikka, yakni Raja Dona Agnes Ines da Silva, dan Dona Maria da Silva, Raja ke- III dan VI, dengan imbalan material gading, emas perak, kuda dan uang.
Filosofi kearifan dan kebijakan lokal (local wisdom and local genious) mendaraskan lima fungsi utama artian belis dan sistem pembelisan, diseimbangkan dan diseleraskan dengan tingginya nilai-nilai setiap wanita.
Pertama, mempertahankan utama harga dan nilai kewanitaan, Du'a Utang Ling Labu Weling dalam filosofi (h) Ata Bi'ang Meing Ba'is Etang Belar, manisfestasi Hak-Hak Asasi Manusia, yang tidak boleh dilanggar dan diperkosa oleh siapapun.
Kedua, melahirkan hak dan kewajiban pria membawa dan memelihara istri dan anak kedalam keluarga dan suku.
Ketiga, menghilangkan tradisi poligami dan kekerasan dalam rumah tangga demi mempertahankan dan mewujudkan prinsip monogami yang manusiawi bergender.
Keempat, menciptakan karya kegotong-royongan antara keluarga dan suku sepanjang masa. Kelima, membangkitkan tradisi kesatuan dan persatuan keluarga, baik keluarga pemberi wanita (h) Ata (h) Ina - (h) Ama maupun keluarga pengambil wanita (h) Ata Me Wai , sepanjang masa.
Filosofi berakar budaya di atas menjawab tanya mengapa etnis Sikka dan lainnya memakai mahar yang disebut bala yang terdiri dari gading pendek (bala buluk), setengah lengan (legi kelik), sepanjang tenggorokan (bala mela wair), sepanjang bahu (bala hengok) dan gading panjang sedepa dua lengan (bala repang).
Jenis gading yang sangat langka dan sukar dicari ini didatangkan pada masa perdagangan barter sejak abad 15 diteruskan ke abad 16 dan 17 oleh pedagang Portugis yang mendatangkan gading dari Jawa, Sumatera, India dan Afrika.
Kini gading batangan di Sikka dan Flores Timur warisan kerajaan masa lampau sudah semakin berkurang karena diperjualbelikan atau dibuat menjadi barang kerajinan dan asesoris.
Walau kian langka, hingga kini hampir di seluruh kecamatan di Sikka yang berbahasa Sikka Krowe masih memelihara tradisi pembelisan berupa gading ini.

 

Jalan Gerabah Perempuan Wuu

Sebagian besar perempuan di Dusun Wuu, Desa Wolokoli, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, menyandarkan hidup dengan membuat gerabah. Bagaimana mereka mampu bertahan hidup?

PERALATAN dari gerabah atau keramik sejak zaman nenek moyang dipergunakan sebagai perlengkapan rumah tangga. Sentra kerjinan gerabah ditemukan hampir di setiap daerah di negeri ini termasuk di Kabupaten Sikka. Bagi masyarakat Sikka, bicara gerabah maka pasti akan merujuk sebuah dusun di Kecamatan Bola. Di Bola kini tersisa tiga dusun yang masih setia dengan produksi gerabahnya.
Bertandang ke Kecamatan Bola ada baiknya mampir ke Dusun Wuu untuk melihat langsung pembuatan gerabah yang masih memakai cara tradisional warisan leluhur. Tris, seorang perempuan pengrajin gerabah yang ditemui di rumahnya menyebutkan, kini tersisa tiga dusun saja yang masih bersikutat membuat gerabah yakni, Dusun Wuu, Dusun Wolokoli, dan Dusun Gedo, ketiganya berada di Desa Wolokoli.
Menurut Tris, dirinya sudah tiga tahun bergelut dengan tanah liat untuk menghasilkan kendi  untuk memasak arak yang dalam bahasa lokal disebut unu tua. dan periuk. “ Sudah tiga tahun terakhir, saya membuat gerabah sepulang merantau dari Kalimantan, apalagi suami tercinta telah dipanggil Yang Kuasa lima tahun silam, ” ujar ibu dua anak ini.
Disebutkan Tris, keahlian membuat keramik ini diwariskan oleh orang tuanya dan sudah dilakukan turun temurun. Setidaknya ada enam keluarga di Dusun Wuu yang masih aktif membuat gerabah. “ Tanah untuk bahan gerabah kami beli di Dusun Gedo. Ukuran satu sak semen seberat 40 kilogram dibeli seharga Rp 25 ribu,“sebutnya.
Tempayan untuk merebus arak yang dihasilkan perempuan pengrajin asal Dusun Wuu, Kecamatan Bola, Sikka. Foto: FBC/Ebed de Rossary
Tempayan untuk merebus arak yang dihasilkan perempuan pengrajin asal Dusun Wuu, Kecamatan Bola, Sikka. Foto: FBC/Ebed de Rossary
Sekarung tanah liat, katanya lagi, bisa menghasilkan kendi untuk merebus arak ukuran besar yang dijual seharga Rp 150 ribu. Kendi ini biasanya dijual di Pasar Geliting yang berjarak 24 kilometer dari dusunnya.
Dalam sebulan, dirinya bisa menjual empat kendi ukuran besar seharga 150 ribu dan empat periuk kecil seharga Rp 50 ribu. “ Kalau dulu awal Juni atau Juli sudah mulai buat gerabah. Sekarang ini kami mulai kerja bulan April dan berakhir di di bulan Desember. Kalau musim hujan tidak kerja, kami berkebun dan menenun sarung “ tambah ibu dari Emilianus Moa Jo dan Imelda Dua Afri ini lagi.

Peralatan Sederhana
Tris menceritakan, tanah yang dibeli lantas dijemur selama tiga hari tergantung panas matahari, dan sesudahnya di ayak. Tanah liat dibentuk memakai alat sederhana berupa kayu bulat berdiameter 10 sentimetrer dengan panjang 30 sentimeter buat melubangi bagian dalam.
Sementara kayu pipih selebar tangan dipakai memukul dan merapikan bagian luarnya. Kayu bundar sebesar ibu jari dicelupkan ke air untuk merapikan bagian dalamnya. Setiap kali merapikan gerabah, kayu selalu dicelupkan ke air terlebih dahulu biar permukaan yang dibentuk menjadi licin. Sedangkan kain keras (bahan jeans) seukuran kepalan tangan dipakai merapikan hasilnya.
Tris, pengrajin gerabah asal Dusun Wuu, tetap mempertahankan teknik tradisional. Foto: FBC/Ebed de Rossary
Tris, pengrajin gerabah asal Dusun Wuu, tetap mempertahankan teknik tradisional. Foto: FBC/Ebed de Rossary
“Selesai dijemur, gerabah dibakar di tungku seperti membakar batu bata. Kalau cepat sejam sudah selesai. Tapi itu tergantung nyala apinya. Kalau nyalanya kurang bisa sampai dua jam. Biasanya kami pakai kayu bambu karena mudah didapat di sekitar tempat tinggal kami, “ tutur Tris.
Sejauh ini, yang menjadi kendala bagi pengrajin seperti Tris adalah permodalan. Tris memohon agar pemerintah bisa membantu pengrajin gerabah di desanya dengan memberikan tungku pembakaran gerabah atau uang untuk membeli tanah liat. “Kalau buat gerabah pakai mesin kami belum bisa karena belum pernah ikut pelatihan. Saya akan terus bertahan menekuni pekerjaan ini dengan alat tradisional. Anak saya yang perempuan juga sudah mulai tertarik dan belajar membua gerabah, “ pungkasnya. (*)
Penulis: Ebed de Rossary
Editor: EC. Pudjiachirusanto