"Ina nian tana wawa // ama lero wulan reta"
( Sang Pencipta Penyebab Tertinggi yg menjadikan langit dan bumi )
Sumber: https://www.facebook.com/yonivantri
Piterson Makin Sulit Dapat Gading
Sumber: http://kupang.tribunnews.com/2015/08/16/piterson-makin-sulit-dapat-gading
Minggu, 16 Agustus 2015 07:09
PK/RIS
Felixius Piterson Kabupung
POS-KUPANG.COM, MAUMERE --- DI Kabupaten Sikka,
NTT, gading (bala), emas (bahar), perak, kuda (jarang) dan uang (hoang)
merupakan mas kawin atau biasa disebut belis Du'a Ling Weling.
Belis adalah langkah awal yang harus dilalui seorang pria sebelum menikahi seorang wanita di Sikka. Unsur belis berupa gading batangan, kuda, emas, uang dan barang lainnya.
Salah satu belis adalah batangan gading (gading utuh, taring gajah) itu merupakan harga mati untuk mengimbangi harga diri dan nilai setiap wanita yang dipinang, dikawini dan yang akan menjadi anggota keluarga suku. Belis harus diserahkan pihak keluarga pengambil wanita -(h) ata me wai pu la'i - kepada keluarga pemberi (h) ata (h) ina- (h) ama yang telah melahirkan dan membesarkannya.
AM Keupung, tokoh masyarakat Kabupaten Sikka mengatakan, belis dalam bentuk batangan gading saat ini tidak mutlak harus dipenuhi keluarga pria. Sudah ada perubahan dan keringanan yang diberikan oleh keluarga wanita terhadap keluarga pria untuk mengganti belis gading.
Saat ini sebagai pengganti gading, orang bisa membawa emas, kuda dan uang. Dalam istilah adat Sikka disebut dengan agar. "Jika tidak ada gading, agar-nya itu apa? Agar- nya itu bisa kuda, bisa uang," kata AM Keupung, di kediamannya, Rabu (12/8/2015).
Sejumlah keluarga di Sikka sudah semakin maju, dan makin berpikir rasional. Bahkan, saat ini gading batangan telah diolah menjadi barang aksesoris seperti cincin, mata kalung, gelang, pipa rokok, tongkat, dan lainnya. Karenanya, gading batangan utuh hampir sulit ditemukan lagi di Sikka.
Bagi sebagian masyarakat Kabupaten Sikka, aksesoris yang terbuat dari gading merupakan bagian dari barang-barang adat yang bisa menjadi belis. Tak mudah membuat aksesoris berbagai bentuk atau model dari gading. Dibutuhkan keterampilan dan pengalaman. Dan di Maumere, Ibu kota Kabupaten Sikka, tidak banyak orang yang bisa menekuni profesi sebagai pengrajin gading.
Felixius Piterson Kabupung (60), warga Sikka itu sudah sejak
tahun 1980-an menjadi pengrajin gading. Ditemui di bengkelnya di Jalan
Patiranga, Kelurahan Beru, Jumat (14/8/2015), Piter mengaku saat ini
gading batangan di Sikka semakin kurang.Belis adalah langkah awal yang harus dilalui seorang pria sebelum menikahi seorang wanita di Sikka. Unsur belis berupa gading batangan, kuda, emas, uang dan barang lainnya.
Salah satu belis adalah batangan gading (gading utuh, taring gajah) itu merupakan harga mati untuk mengimbangi harga diri dan nilai setiap wanita yang dipinang, dikawini dan yang akan menjadi anggota keluarga suku. Belis harus diserahkan pihak keluarga pengambil wanita -(h) ata me wai pu la'i - kepada keluarga pemberi (h) ata (h) ina- (h) ama yang telah melahirkan dan membesarkannya.
AM Keupung, tokoh masyarakat Kabupaten Sikka mengatakan, belis dalam bentuk batangan gading saat ini tidak mutlak harus dipenuhi keluarga pria. Sudah ada perubahan dan keringanan yang diberikan oleh keluarga wanita terhadap keluarga pria untuk mengganti belis gading.
Saat ini sebagai pengganti gading, orang bisa membawa emas, kuda dan uang. Dalam istilah adat Sikka disebut dengan agar. "Jika tidak ada gading, agar-nya itu apa? Agar- nya itu bisa kuda, bisa uang," kata AM Keupung, di kediamannya, Rabu (12/8/2015).
Sejumlah keluarga di Sikka sudah semakin maju, dan makin berpikir rasional. Bahkan, saat ini gading batangan telah diolah menjadi barang aksesoris seperti cincin, mata kalung, gelang, pipa rokok, tongkat, dan lainnya. Karenanya, gading batangan utuh hampir sulit ditemukan lagi di Sikka.
Bagi sebagian masyarakat Kabupaten Sikka, aksesoris yang terbuat dari gading merupakan bagian dari barang-barang adat yang bisa menjadi belis. Tak mudah membuat aksesoris berbagai bentuk atau model dari gading. Dibutuhkan keterampilan dan pengalaman. Dan di Maumere, Ibu kota Kabupaten Sikka, tidak banyak orang yang bisa menekuni profesi sebagai pengrajin gading.
Meski demikian, Piter yakin gading akan selalu dibutuhkan dan akan diperolehnya dari sejumlah masyarakat.
"Ada saja yang bawa jual gading batangan ke sini. Mereka butuh uang sehingga mereka jual gading. Lebih banyak masyarakat dari Flores Timur. Kalau masyarakat Sikka sudah sedikit yang punya gading batangan," kata Piter.
Di tangan Piter, sebatang gading bisa 'disulap' menjadi berbagai jenis dan model aksesoris yang eksotik dan elegan. Sebut saja gelang, cincin, anting, giwang, tusuk konde, tongkat, dan berbagai aksesoris lainnya bisa 'diciptakan' Piter.
Bahkan akhir-akhir ini Piter bisa memodifikasi aksesoris gadingnya itu dengan balutan emas dan batu akik. Namun piter tidak menerima pembuatan batu akik.
Piter selektif saat membeli gading. Piter punya aturan main bahwa dia tidak akan pernah membeli gading batangan yang baru atau muda. Karena itu diprediksi adalah gading yang baru diambil dari gajah, entah dari mana.
"Hewan gajah itu dilindungi dan saya menghargai hal itu. Karena itu, saya tidak pernah mau membeli gading baru. Yang saya beli adalah gading lama yang merupakan warisan," ujarnya.
Piter mengatakan, harga gading cukup mahal. Misalnya, gading batangan dengan berat sekitar 20 kilogram, harganya mencapai Rp 300 juta. Piter mengatakan, di Sikka ada gading batangan yang disimpan di rumah adat Watublapi-Sikka, panjangnya mencapai tiga meter.
"Gading di Watublapi itu hanya bisa dilihat orang lain setelah digelar upacara adat. Tapi orang yang mau melihat gading itu harus mengeluarkan uang paling kurang Rp 2 juta untuk membiayai upacara adat. Itu juga hanya diberi kesempatan melihat gading batangan sekitar dua atau tiga menit saja," kata Piter.
Menurut Keupung, beberapa tahun terakhir ini, gading batangan yang beredar di Sikka didatangkan dari luar, seperti dari Flotim. "Gading di Flotim itu lebih banyak daripada gading batangan yang ada di Sikka sekarang," kata Keupung.
Saat ini juga, anggapan bahwa gading itu merupakan gengsi, sudah tidak ada lagi. Nilai gading belis saat menikah itu lebih dilihat sebagai bentuk penghormatan kepada pihak perempuan. "Gading itu simbol penghargaan terhadap perempuan. Namun saat ini gading batangan sebagai belis sudah tidak mutlak lagi," ujarnya.
Bahkan ada kasus, ketika pihak lelaki membawakan batangan gading, malah ditolak olah keluarga perempuan. Mungkin karena gading yang dibawa itu telah dipotong menjadi aksesoris.
"Orang sudah tidak terlalu menuntut belis seperti belis itu harus ada dua batang gading, uang Rp100 juta dan lain sebagainya. Permintaan semacam itu hampir tidak dipraktekan lagi," kata Keupung.
News Analysis oleh Oscar Mandalangi Pareira
(Budayawan Sikka)
Sumber:
http://kupang.tribunnews.com/2015/08/16/oscar-mandalangi-pareire-hormati-hukum-adat
POS-KUAPNG.COM, MAUMERE --- Mahar belis atau bala atau mas kawin antara lain berupa gading yang disebut Du'a Ling Weling (bahasa Sikka) itu sebenarnya bukan hanya berlaku di Kabupaten Sikka.
Karena hukum adat seperti itu sampai kini masih dipertahankan di hampir seluruh daerah di NTT seperti Flores, Alor , Sumba dan Timor.
Dua tokoh wanita utama etnis Sikka melahirkan dan mewariskan filosofi Du'a Ling Weling, Nilai dan Harga Diri Wanita pada abad ke-16 dan 17 di Kerajaan Sikka, yakni Raja Dona Agnes Ines da Silva, dan Dona Maria da Silva, Raja ke- III dan VI, dengan imbalan material gading, emas perak, kuda dan uang.
Filosofi kearifan dan kebijakan lokal (local wisdom and local genious) mendaraskan lima fungsi utama artian belis dan sistem pembelisan, diseimbangkan dan diseleraskan dengan tingginya nilai-nilai setiap wanita.
Pertama, mempertahankan utama harga dan nilai kewanitaan, Du'a Utang Ling Labu Weling dalam filosofi (h) Ata Bi'ang Meing Ba'is Etang Belar, manisfestasi Hak-Hak Asasi Manusia, yang tidak boleh dilanggar dan diperkosa oleh siapapun.
Kedua, melahirkan hak dan kewajiban pria membawa dan memelihara istri dan anak kedalam keluarga dan suku.
Ketiga, menghilangkan tradisi poligami dan kekerasan dalam rumah
tangga demi mempertahankan dan mewujudkan prinsip monogami yang
manusiawi bergender.
Keempat, menciptakan karya kegotong-royongan antara keluarga dan suku sepanjang masa. Kelima, membangkitkan tradisi kesatuan dan persatuan keluarga, baik keluarga pemberi wanita (h) Ata (h) Ina - (h) Ama maupun keluarga pengambil wanita (h) Ata Me Wai , sepanjang masa.
Filosofi berakar budaya di atas menjawab tanya mengapa etnis Sikka dan lainnya memakai mahar yang disebut bala yang terdiri dari gading pendek (bala buluk), setengah lengan (legi kelik), sepanjang tenggorokan (bala mela wair), sepanjang bahu (bala hengok) dan gading panjang sedepa dua lengan (bala repang).
Jenis gading yang sangat langka dan sukar dicari ini didatangkan pada masa perdagangan barter sejak abad 15 diteruskan ke abad 16 dan 17 oleh pedagang Portugis yang mendatangkan gading dari Jawa, Sumatera, India dan Afrika.
Kini gading batangan di Sikka dan Flores Timur warisan kerajaan masa lampau sudah semakin berkurang karena diperjualbelikan atau dibuat menjadi barang kerajinan dan asesoris.
Walau kian langka, hingga kini hampir di seluruh kecamatan di Sikka yang berbahasa Sikka Krowe masih memelihara tradisi pembelisan berupa gading ini.
Keempat, menciptakan karya kegotong-royongan antara keluarga dan suku sepanjang masa. Kelima, membangkitkan tradisi kesatuan dan persatuan keluarga, baik keluarga pemberi wanita (h) Ata (h) Ina - (h) Ama maupun keluarga pengambil wanita (h) Ata Me Wai , sepanjang masa.
Filosofi berakar budaya di atas menjawab tanya mengapa etnis Sikka dan lainnya memakai mahar yang disebut bala yang terdiri dari gading pendek (bala buluk), setengah lengan (legi kelik), sepanjang tenggorokan (bala mela wair), sepanjang bahu (bala hengok) dan gading panjang sedepa dua lengan (bala repang).
Jenis gading yang sangat langka dan sukar dicari ini didatangkan pada masa perdagangan barter sejak abad 15 diteruskan ke abad 16 dan 17 oleh pedagang Portugis yang mendatangkan gading dari Jawa, Sumatera, India dan Afrika.
Kini gading batangan di Sikka dan Flores Timur warisan kerajaan masa lampau sudah semakin berkurang karena diperjualbelikan atau dibuat menjadi barang kerajinan dan asesoris.
Walau kian langka, hingga kini hampir di seluruh kecamatan di Sikka yang berbahasa Sikka Krowe masih memelihara tradisi pembelisan berupa gading ini.
Jalan Gerabah Perempuan Wuu
Sebagian besar perempuan di Dusun Wuu, Desa Wolokoli,
Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, menyandarkan hidup dengan membuat
gerabah. Bagaimana mereka mampu bertahan hidup?
PERALATAN dari gerabah atau keramik sejak zaman nenek moyang dipergunakan sebagai perlengkapan rumah tangga. Sentra kerjinan gerabah ditemukan hampir di setiap daerah di negeri ini termasuk di Kabupaten Sikka. Bagi masyarakat Sikka, bicara gerabah maka pasti akan merujuk sebuah dusun di Kecamatan Bola. Di Bola kini tersisa tiga dusun yang masih setia dengan produksi gerabahnya.
Bertandang ke Kecamatan Bola ada baiknya mampir ke Dusun Wuu untuk melihat langsung pembuatan gerabah yang masih memakai cara tradisional warisan leluhur. Tris, seorang perempuan pengrajin gerabah yang ditemui di rumahnya menyebutkan, kini tersisa tiga dusun saja yang masih bersikutat membuat gerabah yakni, Dusun Wuu, Dusun Wolokoli, dan Dusun Gedo, ketiganya berada di Desa Wolokoli.
Menurut Tris, dirinya sudah tiga tahun bergelut dengan tanah liat untuk menghasilkan kendi untuk memasak arak yang dalam bahasa lokal disebut unu tua. dan periuk. “ Sudah tiga tahun terakhir, saya membuat gerabah sepulang merantau dari Kalimantan, apalagi suami tercinta telah dipanggil Yang Kuasa lima tahun silam, ” ujar ibu dua anak ini.
Disebutkan Tris, keahlian membuat keramik ini diwariskan oleh orang tuanya dan sudah dilakukan turun temurun. Setidaknya ada enam keluarga di Dusun Wuu yang masih aktif membuat gerabah. “ Tanah untuk bahan gerabah kami beli di Dusun Gedo. Ukuran satu sak semen seberat 40 kilogram dibeli seharga Rp 25 ribu,“sebutnya.

Sekarung tanah liat, katanya lagi, bisa menghasilkan kendi untuk
merebus arak ukuran besar yang dijual seharga Rp 150 ribu. Kendi ini
biasanya dijual di Pasar Geliting yang berjarak 24 kilometer dari
dusunnya.
Dalam sebulan, dirinya bisa menjual empat kendi ukuran besar seharga 150 ribu dan empat periuk kecil seharga Rp 50 ribu. “ Kalau dulu awal Juni atau Juli sudah mulai buat gerabah. Sekarang ini kami mulai kerja bulan April dan berakhir di di bulan Desember. Kalau musim hujan tidak kerja, kami berkebun dan menenun sarung “ tambah ibu dari Emilianus Moa Jo dan Imelda Dua Afri ini lagi.
Peralatan Sederhana
Tris menceritakan, tanah yang dibeli lantas dijemur selama tiga hari tergantung panas matahari, dan sesudahnya di ayak. Tanah liat dibentuk memakai alat sederhana berupa kayu bulat berdiameter 10 sentimetrer dengan panjang 30 sentimeter buat melubangi bagian dalam.
Sementara kayu pipih selebar tangan dipakai memukul dan merapikan bagian luarnya. Kayu bundar sebesar ibu jari dicelupkan ke air untuk merapikan bagian dalamnya. Setiap kali merapikan gerabah, kayu selalu dicelupkan ke air terlebih dahulu biar permukaan yang dibentuk menjadi licin. Sedangkan kain keras (bahan jeans) seukuran kepalan tangan dipakai merapikan hasilnya.

“Selesai dijemur, gerabah dibakar di tungku seperti membakar batu
bata. Kalau cepat sejam sudah selesai. Tapi itu tergantung nyala apinya.
Kalau nyalanya kurang bisa sampai dua jam. Biasanya kami pakai kayu
bambu karena mudah didapat di sekitar tempat tinggal kami, “ tutur Tris.
Sejauh ini, yang menjadi kendala bagi pengrajin seperti Tris adalah permodalan. Tris memohon agar pemerintah bisa membantu pengrajin gerabah di desanya dengan memberikan tungku pembakaran gerabah atau uang untuk membeli tanah liat. “Kalau buat gerabah pakai mesin kami belum bisa karena belum pernah ikut pelatihan. Saya akan terus bertahan menekuni pekerjaan ini dengan alat tradisional. Anak saya yang perempuan juga sudah mulai tertarik dan belajar membua gerabah, “ pungkasnya. (*)
Penulis: Ebed de Rossary
Editor: EC. Pudjiachirusanto
PERALATAN dari gerabah atau keramik sejak zaman nenek moyang dipergunakan sebagai perlengkapan rumah tangga. Sentra kerjinan gerabah ditemukan hampir di setiap daerah di negeri ini termasuk di Kabupaten Sikka. Bagi masyarakat Sikka, bicara gerabah maka pasti akan merujuk sebuah dusun di Kecamatan Bola. Di Bola kini tersisa tiga dusun yang masih setia dengan produksi gerabahnya.
Bertandang ke Kecamatan Bola ada baiknya mampir ke Dusun Wuu untuk melihat langsung pembuatan gerabah yang masih memakai cara tradisional warisan leluhur. Tris, seorang perempuan pengrajin gerabah yang ditemui di rumahnya menyebutkan, kini tersisa tiga dusun saja yang masih bersikutat membuat gerabah yakni, Dusun Wuu, Dusun Wolokoli, dan Dusun Gedo, ketiganya berada di Desa Wolokoli.
Menurut Tris, dirinya sudah tiga tahun bergelut dengan tanah liat untuk menghasilkan kendi untuk memasak arak yang dalam bahasa lokal disebut unu tua. dan periuk. “ Sudah tiga tahun terakhir, saya membuat gerabah sepulang merantau dari Kalimantan, apalagi suami tercinta telah dipanggil Yang Kuasa lima tahun silam, ” ujar ibu dua anak ini.
Disebutkan Tris, keahlian membuat keramik ini diwariskan oleh orang tuanya dan sudah dilakukan turun temurun. Setidaknya ada enam keluarga di Dusun Wuu yang masih aktif membuat gerabah. “ Tanah untuk bahan gerabah kami beli di Dusun Gedo. Ukuran satu sak semen seberat 40 kilogram dibeli seharga Rp 25 ribu,“sebutnya.
Tempayan untuk merebus arak yang dihasilkan perempuan pengrajin asal Dusun Wuu, Kecamatan Bola, Sikka. Foto: FBC/Ebed de Rossary
Dalam sebulan, dirinya bisa menjual empat kendi ukuran besar seharga 150 ribu dan empat periuk kecil seharga Rp 50 ribu. “ Kalau dulu awal Juni atau Juli sudah mulai buat gerabah. Sekarang ini kami mulai kerja bulan April dan berakhir di di bulan Desember. Kalau musim hujan tidak kerja, kami berkebun dan menenun sarung “ tambah ibu dari Emilianus Moa Jo dan Imelda Dua Afri ini lagi.
Peralatan Sederhana
Tris menceritakan, tanah yang dibeli lantas dijemur selama tiga hari tergantung panas matahari, dan sesudahnya di ayak. Tanah liat dibentuk memakai alat sederhana berupa kayu bulat berdiameter 10 sentimetrer dengan panjang 30 sentimeter buat melubangi bagian dalam.
Sementara kayu pipih selebar tangan dipakai memukul dan merapikan bagian luarnya. Kayu bundar sebesar ibu jari dicelupkan ke air untuk merapikan bagian dalamnya. Setiap kali merapikan gerabah, kayu selalu dicelupkan ke air terlebih dahulu biar permukaan yang dibentuk menjadi licin. Sedangkan kain keras (bahan jeans) seukuran kepalan tangan dipakai merapikan hasilnya.
Tris, pengrajin gerabah asal Dusun Wuu, tetap mempertahankan teknik tradisional. Foto: FBC/Ebed de Rossary
Sejauh ini, yang menjadi kendala bagi pengrajin seperti Tris adalah permodalan. Tris memohon agar pemerintah bisa membantu pengrajin gerabah di desanya dengan memberikan tungku pembakaran gerabah atau uang untuk membeli tanah liat. “Kalau buat gerabah pakai mesin kami belum bisa karena belum pernah ikut pelatihan. Saya akan terus bertahan menekuni pekerjaan ini dengan alat tradisional. Anak saya yang perempuan juga sudah mulai tertarik dan belajar membua gerabah, “ pungkasnya. (*)
Penulis: Ebed de Rossary
Editor: EC. Pudjiachirusanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar