WISATA PANTAI: Tahukah Anda Asal Muasal Nama Flores?
https://m.tempo.co/read/news/2015/11/21/204720930/wisata-pantai-tahukah-anda-asal-muasal-nama-flores
Sabtu, 21 November 2015 | 10:06 WIB
Wisatawan bersantai Pulau Meko di Flores, Nusa Tenggara Timur, 8
Oktober 2015. Pulau Mekko merupakan pulau pasir putih seluas lapangan
bola. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO,
Jakarta
-Tanjung Bunga menjadi salah satu titik persinggahan kami dalam
perjalanan darat sepanjang 400 kilometer menyusuri pantai di sepanjang
timur Pulau Flores hingga menyeberang ke Pulau Adonara. Kami memulai
perjalanan darat dari Kota Ende, melewati perbukitan di sekitar Danau
Kelimutu, turun ke sisi selatan pulau untuk menemukan Pantai Koka yang
indahnya bukan main. Dari sisi selatan, kami naik lagi menuju Kota
Maumere, yang berada di sisi utara pulau.
Perjalanan dari Ende ke
Maumere membutuhkan waktu sekitar empat jam, belum termasuk waktu yang
dihabiskan akibat sistem buka tutup karena perbaikan jalan. Jalanan
relatif mulus, menyisir tebing dengan bentuk berkelok-kelok. Dari Kota
Maumere, selama empat jam kami menyusuri sisi utara Pulau Flores,
berbelok ke tengah hingga tiba di Kota Larantuka. Larantuka menjadi
poros tujuan kami setelah menyinggahi Pantai Koka dan sebelum
mengunjungi Adonara dan Tanjung Bunga.
Soal keindahan pantai,
Tanjung Bunga jangan ditanya. Daratan ini memiliki deretan pantai
perawan yang menawan. Pantai Kaba, Pantai Kateki, hingga Pantai Nipa
adalah surga yang menunggu di ujung utara Flores. Keindahan ini menjadi
magnet bagi wisatawan dan nelayan dari penjuru Nusantara. Nelayan Bugis,
Buton, hingga Madura acap melemparkan sauh di tengah laut lalu menepi
dengan perahu kecil. Bahkan tak sedikit yang menetap dan berbaur dengan
penduduk setempat. Tapi itu cerita lama. “Setelah tsunami, tak ada lagi
yang datang kemari,” kata Alfonsus Jamaluruon, tokoh masyarakat
Riangkeroko, perkampungan di Tanjung Bunga.
Pada Sabtu, 12
Desember 1992, petaka diawali dengan gempa berkekuatan 7,5 skala
Richter yang memicu longsor bawah laut. Yoshinobu Tsuji dan timnya dalam
publikasi berjudul
Damage to Coastal Villages Due to the 1992 Flores Island Earthquake Tsunami mengatakan
tinggi gelombang mencapai 26,2 meter. Gulungan ombak mengempaskan
rumah, pohon kelapa, hingga ratusan tubuh manusia. Sebanyak 137 orang
tewas akibat tsunami ini. Ombak besar ini menghantam Teluk Hading, salah
satu pesisir terindah di utara Flores. “Sekarang teluk ini tertutupi
bakau,” kata Alfonsus.
Kecamatan
Tanjung Bunga adalah tempat lahirnya nama Flores. Pada 1512, di ujung
tanjung ini, seorang pelaut Portugis bernama Antonio de Abreu konon
menjadi orang Eropa yang tiba pertama di pulau ini. Antonio melihat
bunga flamboyan merah bermekaran di seantero pulau. Seorang Portugis
lain, S.M. Cabot, kemudian menyebut daratan ini dengan nama Cabo das
Flores, yang berarti Tanjung Bunga. Pada 1636, Gubernur Hindia Belanda
Hendrik Brouwer mensahkan nama Flores untuk pulau ini.
Di masa
lalu perdagangan memang melewati pantai-pantai di Flores Timur. Itu
dapat dilihat dari tradisi pernikahan suku Lamaholot di Flores Timur
hingga Adonara. Perkawinan dianggap sebagai
na buah ma an mone, yaitu simbol menyerahkan laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri.
Belis
atau mas kawin yang harus dibayar seorang laki-laki ketika menyunting
perempuan sama sekali tak memiliki hubungan dengan wilayah Flores Timur
atau Adonara.
Agus Geroda, warga Bedaluwun di Pulau Adonara,
menuturkan mas kawin yang harus dibayar saat menikahi perempuan
Lamaholot adalah gading gajah. Gading melambangkan nilai adat, status
sosial, harga diri, dan perekat kekerabatan. “Tak ada perkawinan tanpa
gading gajah,” kata Agus. Dia tak bisa menjelaskan asal-muasal gading
tersebut karena Adonara dan Flores bukanlah habitat gajah. Kemungkinan
besar gading datang lewat para pedagang masa lalu yang mampir. Semakin
tua usia gading gajah, harganya akan semakin mahal. Tak mengherankan
bila sepotong gading untuk
belis bisa berharga ratusan juta rupiah.
WAYAN AGUS PURNOMO