Jumat, 28 Oktober 2016

PERSAMAAN BUDAYA SIKKA DENGAN MANGGARAI

PERSAMAAN BUDAYA SIKKA DENGAN MANGGARAI

Kata -kata:
  1. Watu = Batu ; misalnya Watu Blapi, Watu Bala, Watu Krus, Watu Diran , Kec. Wae Gete (Sikka); Watu Nggene, Watu Motang, Watu Lanur, Watu  Waja, Watu Benta, Watu Wale, Watu Pengang (Manggarai
  2. Nanga = pantai; misalnya Nanga Rasong, Nanga Hure, Nanga Limang (Sikka), Nanga Kantor, Nanga Bere, Nanga Woja, Nanga Nae, Nanga Ramut, Nanga Baras, Nanga Lili  (Manggarai)
  3.  Tabe  (Sikka = Manggarai) = Salam.  (https://www.youtube.com/watch?v=4dO8YzLVKpU
  4. Tana  (Sikka = Manggarai) - Tanah (https://www.youtube.com/watch?v=4dO8YzLVKpU)

Manggarai

Watu: batu

Sikka:

Watu =  batu?
Watu Blapi, Watu Bala, Watu Krus, Watu Diran (https://regional.kompas.com/read/2019/05/21/07191641/bapak-jokowi-tolong-bantu-sekolah-kami)


Kata-kata yang agar mirip

 Wae (Manggarai) mirip wair ( Sikka) = air, ; Wair Terang, 

JPS, 29 Okt. 2016  

Weta (Sikka  dan Manggarai )  = saudari
Nara (Sikka dan Manggarai )  = saudara

JPS, 30 Mei . 2022






Senin, 19 September 2016

Anda Asal Muasal Nama Flores

WISATA PANTAI: Tahukah Anda Asal Muasal Nama Flores?

 https://m.tempo.co/read/news/2015/11/21/204720930/wisata-pantai-tahukah-anda-asal-muasal-nama-flores
 
Sabtu, 21 November 2015 | 10:06 WIB
WISATA PANTAI: Tahukah Anda Asal Muasal Nama Flores?
Wisatawan bersantai Pulau Meko di Flores, Nusa Tenggara Timur, 8 Oktober 2015. Pulau Mekko merupakan pulau pasir putih seluas lapangan bola. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Jakarta -Tanjung Bunga menjadi salah satu titik persinggahan kami dalam perjalanan darat sepanjang 400 kilometer menyusuri pantai di sepanjang timur Pulau Flores hingga menyeberang ke Pulau Adonara. Kami memulai perjalanan darat dari Kota Ende, melewati perbukitan di sekitar Danau Kelimutu, turun ke sisi selatan pulau untuk menemukan Pantai Koka yang indahnya bukan main. Dari sisi selatan, kami naik lagi menuju Kota Maumere, yang berada di sisi utara pulau.

Perjalanan dari Ende ke Maumere membutuhkan waktu sekitar empat jam, belum termasuk waktu yang dihabiskan akibat sistem buka tutup karena perbaikan jalan. Jalanan relatif mulus, menyisir tebing dengan bentuk berkelok-kelok. Dari Kota Maumere, selama empat jam kami menyusuri sisi utara Pulau Flores, berbelok ke tengah hingga tiba di Kota Larantuka. Larantuka menjadi poros tujuan kami setelah menyinggahi Pantai Koka dan sebelum mengunjungi Adonara dan Tanjung Bunga.

Soal keindahan pantai, Tanjung Bunga jangan ditanya. Daratan ini memiliki deretan pantai perawan yang menawan. Pantai Kaba, Pantai Kateki, hingga Pantai Nipa adalah surga yang menunggu di ujung utara Flores. Keindahan ini menjadi magnet bagi wisatawan dan nelayan dari penjuru Nusantara. Nelayan Bugis, Buton, hingga Madura acap melemparkan sauh di tengah laut lalu menepi dengan perahu kecil. Bahkan tak sedikit yang menetap dan berbaur dengan penduduk setempat. Tapi itu cerita lama. “Setelah tsunami, tak ada lagi yang datang kemari,” kata Alfonsus Jamaluruon, tokoh masyarakat Riangkeroko, perkampungan di Tanjung Bunga.

Pada Sabtu, 12 Desember 1992, petaka diawali dengan gempa berkekuatan 7,5 skala Richter yang memicu longsor bawah laut. Yoshinobu Tsuji dan timnya dalam publikasi berjudul Damage to Coastal Villages Due to the 1992 Flores Island Earthquake Tsunami mengatakan tinggi gelombang mencapai 26,2 meter. Gulungan ombak mengempaskan rumah, pohon kelapa, hingga ratusan tubuh manusia. Sebanyak 137 orang tewas akibat tsunami ini. Ombak besar ini menghantam Teluk Hading, salah satu pesisir terindah di utara Flores. “Sekarang teluk ini tertutupi bakau,” kata Alfonsus.



Kecamatan Tanjung Bunga adalah tempat lahirnya nama Flores. Pada 1512, di ujung tanjung ini, seorang pelaut Portugis bernama Antonio de Abreu konon menjadi orang Eropa yang tiba pertama di pulau ini. Antonio melihat bunga flamboyan merah bermekaran di seantero pulau. Seorang Portugis lain, S.M. Cabot, kemudian menyebut daratan ini dengan nama Cabo das Flores, yang berarti Tanjung Bunga. Pada 1636, Gubernur Hindia Belanda Hendrik Brouwer mensahkan nama Flores untuk pulau ini.

Di masa lalu perdagangan memang melewati pantai-pantai di Flores Timur. Itu dapat dilihat dari tradisi pernikahan suku Lamaholot di Flores Timur hingga Adonara. Perkawinan dianggap sebagai na buah ma an mone, yaitu simbol menyerahkan laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri. Belis atau mas kawin yang harus dibayar seorang laki-laki ketika menyunting perempuan sama sekali tak memiliki hubungan dengan wilayah Flores Timur atau Adonara.

Agus Geroda, warga Bedaluwun di Pulau Adonara, menuturkan mas kawin yang harus dibayar saat menikahi perempuan Lamaholot adalah gading gajah. Gading melambangkan nilai adat, status sosial, harga diri, dan perekat kekerabatan. “Tak ada perkawinan tanpa gading gajah,” kata Agus. Dia tak bisa menjelaskan asal-muasal gading tersebut karena Adonara dan Flores bukanlah habitat gajah. Kemungkinan besar gading datang lewat para pedagang masa lalu yang mampir. Semakin tua usia gading gajah, harganya akan semakin mahal. Tak mengherankan bila sepotong gading untuk belis bisa berharga ratusan juta rupiah.

WAYAN AGUS PURNOMO

Minggu, 18 September 2016

BAHASA-BAHASA DI FLORES

 BAHASA-BAHASA  DI FLORES

Ada banyak bahasa di Pulau Flores. Paling tidak ada 10, yakni:
  1. Bahasa Lamaholot di Flores Timur dan Lembata
  2. Bahasa Kedang di Kecamatan Omesuri dan Buyasuri di Kabupaten Lembata.
  3. Bahaa Nagi di  di Kecamatan Larantuka, Wure, dan Konga
  4. Bahasa Sikka (Sikka Barat dan Krowe/Tana Ai/Kangae) di Kabupaten Sikka
  5. Bahasa Palue di Pulau Palue. kabupaten Sikka
  6. Bahasa Lio ( dan ende)  di Kebupaten Ende , meliputi  Nangapanda, Ende, Ndona, Wolowaru, Maurole, dan Detusoko.
  7. Bahasa Ngada, Penutur bahasa Ngada tersebar di tujuh kecamatan: Aimere, Golewa, Mauponggo, Nangaroro, Boawae, Bajawa, Aesesa. Seperti bahasa-bahasa lain di Flores, bahasa Ngada pun mengenal macam-macam dialek. Pater Arndt SVD sejak 1930-an sudah melakukan penelitian mendalam tentang bahasa dan budaya Ngada. Pada 1933 pastor ini bahkan sudah menulis tata bahasa Ngada, kemudian kamus Ngada-Jerman pada 1961. Ini menunjukkan bahasa bahasa dan kebudayaan Ngada menjadi kajian penting ketika misionaris SVD merintis misi Katolik di Flores.
  8. Bahasa Rembong,  digunakan di Riung Tengah, Kabupaten Ngada bagian utara. Kawasan ini berbatasan dengan Manggarai dan pengguna bahasa Ngada. Jumlah penuturnya cukup banyak, 20 ribu orang. Di kawasan ini, pesisir utara, juga ada penutur BAHASA BAJO. Bahasa ini dipakai orang-orang suku Bajo, kaum nelayan yang biasanya berumah di atas laut. 
  9. Bahasa Manggarai.  Bahasa paling banyak penuturnya di Flores. Sekitar 500.000 penutur bahasa ini tinggal di Kabupaten Manggarai, ujung barat Flores. Ada sembilan kecamatan: Lembor, Satarmese, Mbrong, Elar, Lambaleda, Ruteng, Cibal, Reo, Kuwus. Menurut Fernandez, bahasa Manggarai kurang menampakkan pengaruh luar karena penuturnya "lebih akrab ke dalam".

    Pakar-pakar Barat juga sudah lama meneliti bahasa Manggarai. Sebut saja J.A.J. Verheijen yang menulis Kamus Manggarai-Indonesia pada 1967 dan Kamus Indonesia-Manggarai pada 1970. "Alam yang bergunung-gunung dengan sungai dan hutan yang belum disentuh tangan manusia turut berperan dalam membentuk dialek-dialek di Manggarai," kata Dr. Fernandez.
  10. Bahasa Komodo.  Digunakan di pulau-pulau kecil yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Selain Pulau Komodo yang terkenal dengan buaya darat, varanus komodoensis, pengguna bahasa Komodo tinggal di Pulau Rinca. Berbatasan dengan Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat, bahasa ini terpengaruh bahasa Bima yang dipakai penduduk Pulau Sumbawa. 

Sumber: http://hurek.blogspot.co.id/2008/11/10-bahasa-di-flores.html
JPS, 19 September 2016



BAHASA SIKKA ? MAUMERE?


https://www.youtube.com/watch?v=3jBgCiH8J2o


Apa kabar :  Tuturapa
Bagaimana: Ganupae? 
Nangka : Nakat / Naka
Pete:  Pete
Pusang : Muu
Pisang Beranga : Muu Beranga
Tinggal di mana = Deri e pae
Tinggal di Gelinting / Brai = Deri  e  Geliting / Brai
Lagi makan apa? = Gaar  daha?
Hujan = uran
Panas = dara
Makan sirih pinang : Wua-wua taa
Terima kasih = Epang gawang
Hama-hama poi = Sama-sama
Habis = sawe baa (?)
Minum = Tinu
Minum air = Tinu wair
Wair daan = air dingin
Mau ke mana = Mae pae
Kelapa = Kabor  ?
Minum air kelapa =  Tinu wair kabor (?)
Jalan-jalan  = pasiar?
Mau pergi merantau = pano malarat
Pergi jualan = Bano matea
Hati-hati = Pano  epa  epa (?)  = 
Jalan baik-baik = Pano  epa  epa (?
Sampai jumpa lagi = Mai zaa walo (Walong?)
Pulang = Walong
Pergi ke rumah anak = Bano lako be au?
Ikan asin  = Ia nini (?)
Makan ikan asin =  Ian hini
Bapak = Mo'at ?
Ibu = Dua'  ?






Bahasa Palu'e
Apa kabar = ai cipo.
Minum = Ninu
Minum kopi - Nino Kopi
Minum teh = Ninu te
Mau ke mana  = .....?
Makan nasi = Jalama?
Air hujan = Wae ura (uja?)
Ubi kayu = ubi kaju
Minum air kelapa  = Ninu lio
Jalan - jalan = Panan dero-dero   = pesiar
Terima kasih = wolaso
Sampai jumpa = sake palu (?)
Selamat datang di Palue + Boraso Palu (?)
Selamat datang = Selamat datang (?) 
Pergi jualan =  Panteka
Hati -hati = pana  mbola -mbola (?) 
Sampai jumpa lagi = ......
Pisang = Muku
Ikan asin = ika (nika)  mahi . 
Makan ikan asin = pesa ika mahi 


JPS, 29 Februari 2024





Senin, 05 September 2016

SASTRAWAN DARI ROTE: GERSON POYK

Penghargaan untuk Sang Pendongeng dari Timur

Selasa, 6 September 2016 | 02:59 WIB
Harri Daryanto Jodhi Yudono, penggagas acara "Membaca Gerson Poyk, Pendongeng dari Timur", menjadi pendongeng pertama dengan membaca "Penjual Kerbau" karya Gerson Poyk yang berlangsung di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Sabtu 3 September 2016.

Dalam usia 85 tahun, di mana tubuh tak lagi sekuat kala masih usia 30-an, Gerson Poyk tersenyum bahagia ketika karya-karyanya dibacakan di atas panggung Galeri Indonesia Kaya, West Mall Grand Indonesia pukul 15.00 WIB 3 September 2016 lalu.
Ya, tak ada yang lebih menggembirakan tatkala para selebriti dan penikmat sastra memenuhi gedung megah dengan disain yang menampilkan beragam destinasi alam yang memikat dari seluruh Nusantara. Mereka yang membacakan karya-karya Sang penulis kelahiran Baa, Rote, NTT pada tahun 1931 ini terdiri dari Jodhi Yudono, Ratih Sang, Jose Rizal Manua, Rita Matu Mona, dan Ingrid Widjanarko.
Kelimanya membacakan karya-karya Gerson Poyk dengan ekspresif, teknik blocking, gesture dan permainan nada suara yang menawan. Bahkan Ratih Sang menitikkan air mata tatkala membacakan cerpen Gerson Poyk yang berjudul Kain Tenun, sebuah kisah tentang perempuan penenun di Lembata dan penangkapan ikan paus yang menghilangkan laki-laki yang dicintainya, menjadikan cerpen ini penuh dengan nuansa NTT yang kental. Menurut sang penulis, cerpen Kain Tenun, Penjual Kerbau (yang dibacakan oleh Jodhi Yudono, merupakan kisah masa kecilnya kala berada di Flores).
Melalui Master Ceremony (MC) Kurnia Effendi, dialog yang penuh keakraban terjadi erat antara pembaca dan penonton. Pementasan pembacaan cerita pendek karya Gerson Poyk ini sekaligus menjadi tribute yang dipersembahkan oleh pecinta seni yang tergabung dalam kelompok Sana Sini Seni Jakarta, yang mulai mengepakkan sayap untuk mementaskan sekaligus memberikan penghargaan kepada para seniman/budaywan/sastrawan Indonesia atas karya-karya yang mereka hasilkan.
"Meski bentuknya sederhana, paling tidak ada appreciate untuk mereka," ucap Jodhi Yudono, salah satu penyelenggara dari kegiatan ini di sela-sela acara.
Jodhi menambahkan, acara ini sebetulnya telah dia angankan lama. "Semenjak mengenal pertama kali tulisan Pak Gerson pada awal tahun 90'an, melalui kumpulan cerpen berjudul 'Di Bawah Matahari Bali', saya langsung jatuh cinta. Semenjak itu, setiap kali cerpen Pak Gerson muncul di Harian Umum Kompas, saya tak pernah absen membacanya. Maka saya pun bera ngan-angan, suatu hari kelak saya ingin menghormato Pak Gerson dengan cara saya. Nah, hari ini penghormatan kepada Pendongeng dari Timur kami berikan kepada beliau," ungkap Jodhi terharu.
Kumpulan cerpen Di Bawah Matahari Bali memuat empat cerpen. Tiga di antaranya bersetting Bali. Cerpen-cerpen Gerson Poyk ini memuat kritik sosial. Tokoh-tokohnya adalah orang biasa yang mempunyai jalan hidup yang tidak mudah. Seni sudah menyatu dalam kehidupan di pulau Bali. Program pemerintah yang ingin menarik wisatawan sebanyak-banyaknya membuat setiap orang menjadi duta pariwisata.
Namun perkembangan pariwisata tidak hanya mengundang turis dan uang, tetapi juga mendatangkan wanita-wanita penghibur dari luar Bali. Turis asing maupun domestik ingin mencicipi kenikmatan duniawi di pulau yang seindah surga ini.
Begitulah, pentas yang berlangsung selama kurang lebih dua setengah jam, menjadi ajang kenangan yang tak terlupakan dari karya-karya seorang sastrawan asal NTT Gerson Poyk. Suara riuh dan tepuk tangan penonton kala seluruh pembaca cerpennya terdengar, sang penulis yang kerap merasa kurang fit akibat penyakit encok dan asam urat, tersenyum penuh haru.
Semoga tanah kelahirannya juga bisa melakukan hal yang sama, sebab ke mana pun ia melangkah, di mana pun karya-karyanya tersebar, ia selalu mengucapkan dan bercerita dengan rasa bangga tentang pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, tanah kelahiran yng selalu ada di dalam jiwa dan raganya. (Fanny Jonathans/JY)
Editor : Jodhi Yudono