Jumat, 27 Februari 2015

BUDAYA NAGEKEO


Gua Ru, Ritual Memanggil Hujan

Sebelum bercocok tanam, masyarakat adat suku Lape di Kabupaten Nagekeo, biasa mengadakan ritual adat yang dinamakan gua ru. Secara harafiah, gua ru artinya ritual musim hujan. Maksud dari ritual gua ru adalah memanggil hujan untuk membasahi lahan bertani sehingga tanaman dapat tumbuh subur dan membawa hasil yang melimpah

RITUAL adat gua ru biasanya dilakukan sebelum musim hujan tiba. Semua anggota suku, atau lazim disebut woe, wajib mengikuti semua rangkaian ritual adat gua ru di Ola Lape atau kampung adat Lape. Ola Lape adalah tempat utama dalam setiap rangkaian ritual adat, di mana terdapat rumah adat dari masing-masing suku atau woe.
Satu minggu sebelumnya, ketua suku–pemangku adat pada ritual gua ru yang sudah ditentukan–menyampaikan bahwa akan diadakan ritual tersebut kepada setiap anggota suku atau woe pada masing-masing rumah adat. Sehingga masing-masing anggota suku mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan selama proses ritual gua ru.
Gua ru kali ini akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Satu hari sebelumnya, semua anggota suku sudah berada di Ola Lape untuk menyiapkan beberapa bahan seperti kayu api, tempat ritual, dan beberapa persiapan di rumah adat (sa’o) masing-masing.
Setiap anggota suku atau woe yang hendak mengikuti perayaan adat ini, wajib membawa ayam kampung sebagai persembahan kepada leluhur suku Lape. Dahulu sebelum agama-agama dari ‘tanah seberang’ memasuki Ola Lape, kepercayaan rakyat Lape berpegang teguh pada tradisi warisan leluhur ini.
Mosalaki utama sedang melakukan ritual esu podo rawu, salah satu tahapan prosesi gua ru. (Foto: FBC/Ian Bala)
Mosalaki utama sedang melakukan ritual esu podo rawu, salah satu tahapan prosesi gua ru. (Foto: FBC/Ian Bala)

Tahap Ritual
Ada beberapa tahap ritual gua ru suku Lape. Di antaranya, pertama: Pogo Sora Pase atau tahap potong bambu (aur untuk sora), potong kayu untuk api unggun, dan potong bilah bambu untuk api penyuluh. Tahap ini dilakukan pada hari sebelum melakukan ritual utama gua ru. Meskipun masih tahap persiapan, menurut rangkaian ritual gua ru termasuk dalam rangkaian secara keseluruhan.
Kedua, Relo Sora Pase. Tahap ini adalah ketika ketua suku masing-masing sa’o (rumah adat) menyalakan api pada bilah bambu dari lika lapu atau dapur dalam rumah adat lalu dipanaskan pada aur (sora) yang disimpan di depan sa’o. Tahap ini bermaksud supaya tanaman (padi) bertumbuh subur dan membawa hasil yang baik.
Ketiga, Zago Podo. Artinya gladi resik untuk ritual esok harinya. Zago Podo ini dilakukan di Sa’o Waja Kebe Riwu atau di rumah adat utama seorang kepala suku sebagai pemandu ritual berikutnya. Pada intinya, tahap ini untuk melatih ritual yang akan terjadi pada hari berikutnya, sehingga tidak terjadi kesalahan. Jika terjadi kesalahan akan berakibat fatal bahkan dapat menelan korban jiwa seluruh anggota suku yang terlibat dalam ritual itu. Tahap ini diikuti semua ketua suku dari masing-masing sa’o. Ketiga tahap ini, dilakukan pada malam pertama di Ola Lape.
Keempat, Kema Ruba. Tahap ini dilakukan pada hari kedua. Semua anggota suku–khusus laki-laki–membuat ruba atau tenda untuk tempat berteduh saat ritual berlangsung. Pembuatan ruba dilakukan di Kuka (kampung pertama Lape) sekitar satu kilometer dari sa’o. Kuka adalah nama tempat di mana ritual gua ru dipusatkan.
Setiap sa’o memiliki satu ruba. Ukuran ruba sesuai dengan keinginan anggota suku, namun tidak lebih besar dengan ruba utama sebagai pusat ritual. Di dalam ruba terdapat tiga buah batu untuk tempat duduk saat anggota suku istirahat. Batu tersebut ditanam berjejeran.
Kayu-kayu api yang sudah disiapkan pada tahap pertama, disusun ditempat api unggun, berdekatan dengan ruba. Kayu-kayu tersebut akan dibakar selama proses ritual dan tidak boleh padam. Jika api di salah satu ruba padam, maka seluruh anggota suku dalam ruba tersebut akan meninggal dunia. Begitu mitos yang dipercayai suku Lape ini. Setiap ruba bersama-sama mengerjakan ruba utama
Masing-masing ruba sedang mengambil api di api unggun utama. Sepanjang ritual api harus menyala terus. (Foto: FBC/Ian Bala)
Masing-masing ruba sedang mengambil api di api unggun utama. Sepanjang ritual api harus menyala terus. (Foto: FBC/Ian Bala)
Kelima, Dhaki Api. Pemangku adat utama (mosalaki) di sa’o kebe riwu mulai memasang api di sa’o pu’u. Mosalaki keluar dari sa’o pu’u sambil memegang bilah yang sudah dipasang api lalu mengumumkan kepada seluruh anggota suku di Ola Lape dengan menggunakan bahasa adat atau Pata:
Zele ulu lau eko, pipi zili ghoe lau
Ni kita gedho ana kedhi
Artinya : orang di atas, di bawah dan sebelah kiri dan kanan. Kita mau keluar menuju Kuka.
Mosalaki bersama pemangku adat lainnya melakukan arak-arakan menuju Kuka. Perarakan tersebut secara berurutan sesuai dengan sa’o adat mulai dari Pemangku adat (mosalaki), suku Nakanawe, Roga Wawo, Roga Au, Naka Zeta Wawo, Naka Zale Au, Woe Renge dan terakhir suku Ko.
Semua anggota suku mulai dari anak-anak sampai orang dewasa menuju Kuka untuk mengikuti ritual gua ru. Masing-masing rumah adat membawa serta sora pase.
Mosalaki yang menjadi pemandu rituan gua ru mulai memasang api di panggung utama yang dinamakan Rada Garo–tempat api unggun utama–. Api yang sudah dipasang tidak boleh padam selama masih ritual gua ru. Masing-masing ruba bertanggung jawab atas api unggun utama. Selalu menghidupkan api unggun utama, jika api padam menurut kepercayaan suku Lape, seluruh anggota suku yang terlibat dalam ritual tersebut akan meninggal dunia.
Setiap ruba mulai memasang api di Rada Garo sesuai dengan urutan perarakan sebelumnya. Api tersebut kemudian dipasang di ruba masing-masing yang sudah disiapkan sebelumnya. Setiap ruba terus memastikan api di masing-masing ruba dan di Rada Garo agar tidak padam.
Keenam, Esu Podo Rawu. Sebelum melakukan esu podo rawu, para mosalaki mencari dua ana weta (pihak perempuan atau saudari) dan dua ebu ta’u (pihak Om atau paman) yang diwakili anak-anak. Ana weta dan ebu ta’u ini bertujuan untuk memberikan makanan dan moke atau tuak. Tuak tersebut dituangkan di dalam podo rawu (periuk tanah dari puluhan abad yang lalu) yang dikendalikan oleh mosalaki pu’u.
Podo Rawu tersebut diisi tuak oleh ana weta dan ebu ta’u lalu diputar lima kali ke arah kiri oleh mosalaki pu’u. Setelah putar lima kali, mosalaki menuangkan tuak yang ada di podo ke tanah sambil berkata:
Uza mai, wae pare, reti wete, pesa reke manu
Artinya : memanggil hujan agar padi bisa tumbuh subur.
Ketujuh, Gae Pare. Ana weta mulai cari bibit pare atau bibit padi sambil jalan keliling ebu ta’u yang duduk berhadapan dengan mosalaki pu’u. Ebu ta’u mulai menanyakan: miu gae apa? (kamu cari apa?) Jawab ana weta: kami gae pare (kami cari padi). Jawab ebu ta’u: ngaza miu gae pare, dheo ebu rumi le dia (kalau kamu cari padi bawa ebu rumi ke mari).
Ebu Rumi adalah telur ayam yang menyimbolkan benih padi. Ana weta mulai menyerahkan telur ayam kepada ebu ta’u dan diletakan di antara batu yang diduduki oleh ebu ta’u. Ana weta menuju ke arah telur tersebut lalu menginjak sampai telur itu pecah. Isi telur tersebut melambangkan benih padi yang siap untuk ditanam.
Ritual gua ru tersebut dilanjutkan makan bersama atau nalo. Masing-masing ruba mengantarkan makanan (nasi) dan daging babi kepada mosalaki pu’u, ana weta dan ebu ta’u untuk nalo.
Anak perempuan dari masing-masing ruba mulai nalo bersama namun dilakukan di rubanya masing-masing, tidak bersamaan dengan mosalaki pu’u, ana weta dan ebu ta’u. Makna dari nalo tersebut adalah mengucap syukur kepada atasannya (leluhur) yang telah memberikan hujan dan benih padi.
Semua perempuan mulai meninggalkan Kuka. Pihak laki-laki mulai nalo bersama secara keseluruhan. Namun, sebelumnya masing-masing ruba mulai mengantar makanan (nasi) dan daging babi secara bergantian antara ruba yang satu dan ruba yang lain. Maksudnya, untuk mengenal pihak keluarga antara pihak ana weta, ame nara dan ebu ta’u. Jika ame nara mengantar nasi ke ebu ta’u atau ana weta, maka mereka membalasnya dengan daging babi. Begitu pula sebaliknya.
Gedho Ata Ga’e
Gedho ata ga’e dilakukan setelah beberapa tahap ritual selesai. Tahap ini, masing-masing suku membawa ayam, nasi di periuk tanah (podo awu) dan isi pase (kayu berbentuk isi tombak) dari sa’o.
Setelah tiba di Kuka, setiap ruba sudah menyiapkan sora pase untuk melakukan ritual. Sora dipotong dua ruas bagian pangkal lalu masukan isi pase pada ruas sora. Sora didirikan di atas batu depan ruba lalu potongan sora (bambu) tadi ditanam dan diikat bersama sora. Masing-masing ruba pastikan bahwa sora tersebut berdiri kuat agar tidak mudah tumbang.
Pemangku adat sedang menyiapkan upacara adat gua ru. (Foto: FBC/Ian Bala)
Pemangku adat sedang menyiapkan upacara adat gua ru. (Foto: FBC/Ian Bala)
Setelah itu, salah satu anggota suku (laki-laki) memegang kepala ayam lalu memukul kepala ayam hingga mati. Darah ayam membasahi sora, isi pase, sobha mata leza (bere), wea (emas), beka feka (bere kecil) dan gebe atau kalung emas.
Ayam tersebut dibakar di masing-masing ruba lalu melihat petunjuk isi perut tentang hasil panen. Kalau ada sesuatu hal yang aneh di isi perut ayang—hati dan usus–biasanya membawa dampak buruk bagi hasil panen musim mendatang.
Setelah itu semua kepala suku melakukan tarian (teke). Teke ini adalah tarian melingkar seperti gawi. Dalam teke ada sadho oleh seorang ketua suku yang ditentukan. Sadho itu adalah syair lagu untuk memanggil hujan. Tarian teke ini berlangsung lama sebab ada banyak syair beruntun yang harus diucapkan satu-persatu.
Setelah tarian teke, dilanjutkan dengan makan bersama atau nalo. Namun, sebelumnya masing-masing ruba menghantar makanan dan daging kepada ruba yang lain untuk mengenal keluarga (ana weta, ebu ta,u dan ame nara ) seperti tahap sebelumnya.
Selanjutnya dilakukan teke secara bersama-sama di Ola Lape. Tarian teke ini untuk memanggil air hujan agar membasahi tanah sehingga tanaman padi mereka bisa bertumbuh subur dan membawa hasil berlimpah.(*)
Penulis : Ian Bala
Editor: EC. Pudjiachirusanto



BUDAYA SIKKA

 Konsep Ketuhan dan Budaya  Sikka

"Ina nian tana wawa // ama lero wulan reta"
 ( Sang Pencipta Penyebab Tertinggi yg menjadikan langit dan bumi )
Sumber:  https://www.facebook.com/yonivantri

 

 

 


Piterson Makin Sulit Dapat Gading

Sumber:  http://kupang.tribunnews.com/2015/08/16/piterson-makin-sulit-dapat-gading

 

Minggu, 16 Agustus 2015 07:09

Piterson Makin Sulit Dapat Gading
PK/RIS
Felixius Piterson Kabupung
POS-KUPANG.COM, MAUMERE --- DI Kabupaten Sikka, NTT, gading (bala), emas (bahar), perak, kuda (jarang) dan uang (hoang) merupakan mas kawin atau biasa disebut belis Du'a Ling Weling.
Belis adalah langkah awal yang harus dilalui seorang pria sebelum menikahi seorang wanita di Sikka. Unsur belis berupa gading batangan, kuda, emas, uang dan barang lainnya.
Salah satu belis adalah batangan gading (gading utuh, taring gajah) itu merupakan harga mati untuk mengimbangi harga diri dan nilai setiap wanita yang dipinang, dikawini dan yang akan menjadi anggota keluarga suku. Belis harus diserahkan pihak keluarga pengambil wanita -(h) ata me wai pu la'i - kepada keluarga pemberi (h) ata (h) ina- (h) ama yang telah melahirkan dan membesarkannya.
AM Keupung, tokoh masyarakat Kabupaten Sikka mengatakan, belis dalam bentuk batangan gading saat ini tidak mutlak harus dipenuhi keluarga pria. Sudah ada perubahan dan keringanan yang diberikan oleh keluarga wanita terhadap keluarga pria untuk mengganti belis gading.
Saat ini sebagai pengganti gading, orang bisa membawa emas, kuda dan uang. Dalam istilah adat Sikka disebut dengan agar. "Jika tidak ada gading, agar-nya itu apa? Agar- nya itu bisa kuda, bisa uang," kata AM Keupung, di kediamannya, Rabu (12/8/2015).
Sejumlah keluarga di Sikka sudah semakin maju, dan makin berpikir rasional. Bahkan, saat ini gading batangan telah diolah menjadi barang aksesoris seperti cincin, mata kalung, gelang, pipa rokok, tongkat, dan lainnya. Karenanya, gading batangan utuh hampir sulit ditemukan lagi di Sikka.
Bagi sebagian masyarakat Kabupaten Sikka, aksesoris yang terbuat dari gading merupakan bagian dari barang-barang adat yang bisa menjadi belis. Tak mudah membuat aksesoris berbagai bentuk atau model dari gading. Dibutuhkan keterampilan dan pengalaman. Dan di Maumere, Ibu kota Kabupaten Sikka, tidak banyak orang yang bisa menekuni profesi sebagai pengrajin gading.
Felixius Piterson Kabupung (60), warga Sikka itu sudah sejak tahun 1980-an menjadi pengrajin gading. Ditemui di bengkelnya di Jalan Patiranga, Kelurahan Beru, Jumat (14/8/2015), Piter mengaku saat ini gading batangan di Sikka semakin kurang.
Meski demikian, Piter yakin gading akan selalu dibutuhkan dan akan diperolehnya dari sejumlah masyarakat.
"Ada saja yang bawa jual gading batangan ke sini. Mereka butuh uang sehingga mereka jual gading. Lebih banyak masyarakat dari Flores Timur. Kalau masyarakat Sikka sudah sedikit yang punya gading batangan," kata Piter.
Di tangan Piter, sebatang gading bisa 'disulap' menjadi berbagai jenis dan model aksesoris yang eksotik dan elegan. Sebut saja gelang, cincin, anting, giwang, tusuk konde, tongkat, dan berbagai aksesoris lainnya bisa 'diciptakan' Piter.
Bahkan akhir-akhir ini Piter bisa memodifikasi aksesoris gadingnya itu dengan balutan emas dan batu akik. Namun piter tidak menerima pembuatan batu akik.
Piter selektif saat membeli gading. Piter punya aturan main bahwa dia tidak akan pernah membeli gading batangan yang baru atau muda. Karena itu diprediksi adalah gading yang baru diambil dari gajah, entah dari mana.
"Hewan gajah itu dilindungi dan saya menghargai hal itu. Karena itu, saya tidak pernah mau membeli gading baru. Yang saya beli adalah gading lama yang merupakan warisan," ujarnya.

Piter mengatakan, harga gading cukup mahal. Misalnya, gading batangan dengan berat sekitar 20 kilogram, harganya mencapai Rp 300 juta. Piter mengatakan, di Sikka ada gading batangan yang disimpan di rumah adat Watublapi-Sikka, panjangnya mencapai tiga meter.
"Gading di Watublapi itu hanya bisa dilihat orang lain setelah digelar upacara adat. Tapi orang yang mau melihat gading itu harus mengeluarkan uang paling kurang Rp 2 juta untuk membiayai upacara adat. Itu juga hanya diberi kesempatan melihat gading batangan sekitar dua atau tiga menit saja," kata Piter.
Menurut Keupung, beberapa tahun terakhir ini, gading batangan yang beredar di Sikka didatangkan dari luar, seperti dari Flotim. "Gading di Flotim itu lebih banyak daripada gading batangan yang ada di Sikka sekarang," kata Keupung.
Saat ini juga, anggapan bahwa gading itu merupakan gengsi, sudah tidak ada lagi. Nilai gading belis saat menikah itu lebih dilihat sebagai bentuk penghormatan kepada pihak perempuan. "Gading itu simbol penghargaan terhadap perempuan. Namun saat ini gading batangan sebagai belis sudah tidak mutlak lagi," ujarnya.
Bahkan ada kasus, ketika pihak lelaki membawakan batangan gading, malah ditolak olah keluarga perempuan. Mungkin karena gading yang dibawa itu telah dipotong menjadi aksesoris.
"Orang sudah tidak terlalu menuntut belis seperti belis itu harus ada dua batang gading, uang Rp100 juta dan lain sebagainya. Permintaan semacam itu hampir tidak dipraktekan lagi," kata Keupung.


News Analysis oleh Oscar Mandalangi Pareira
(Budayawan Sikka)
 Sumber:
http://kupang.tribunnews.com/2015/08/16/oscar-mandalangi-pareire-hormati-hukum-adat
POS-KUAPNG.COM, MAUMERE --- Mahar belis atau bala atau mas kawin antara lain berupa gading yang disebut Du'a Ling Weling (bahasa Sikka) itu sebenarnya bukan hanya berlaku di Kabupaten Sikka.
Karena hukum adat seperti itu sampai kini masih dipertahankan di hampir seluruh daerah di NTT seperti Flores, Alor , Sumba dan Timor.
Dua tokoh wanita utama etnis Sikka melahirkan dan mewariskan filosofi Du'a Ling Weling, Nilai dan Harga Diri Wanita pada abad ke-16 dan 17 di Kerajaan Sikka, yakni Raja Dona Agnes Ines da Silva, dan Dona Maria da Silva, Raja ke- III dan VI, dengan imbalan material gading, emas perak, kuda dan uang.
Filosofi kearifan dan kebijakan lokal (local wisdom and local genious) mendaraskan lima fungsi utama artian belis dan sistem pembelisan, diseimbangkan dan diseleraskan dengan tingginya nilai-nilai setiap wanita.
Pertama, mempertahankan utama harga dan nilai kewanitaan, Du'a Utang Ling Labu Weling dalam filosofi (h) Ata Bi'ang Meing Ba'is Etang Belar, manisfestasi Hak-Hak Asasi Manusia, yang tidak boleh dilanggar dan diperkosa oleh siapapun.
Kedua, melahirkan hak dan kewajiban pria membawa dan memelihara istri dan anak kedalam keluarga dan suku.
Ketiga, menghilangkan tradisi poligami dan kekerasan dalam rumah tangga demi mempertahankan dan mewujudkan prinsip monogami yang manusiawi bergender.
Keempat, menciptakan karya kegotong-royongan antara keluarga dan suku sepanjang masa. Kelima, membangkitkan tradisi kesatuan dan persatuan keluarga, baik keluarga pemberi wanita (h) Ata (h) Ina - (h) Ama maupun keluarga pengambil wanita (h) Ata Me Wai , sepanjang masa.
Filosofi berakar budaya di atas menjawab tanya mengapa etnis Sikka dan lainnya memakai mahar yang disebut bala yang terdiri dari gading pendek (bala buluk), setengah lengan (legi kelik), sepanjang tenggorokan (bala mela wair), sepanjang bahu (bala hengok) dan gading panjang sedepa dua lengan (bala repang).
Jenis gading yang sangat langka dan sukar dicari ini didatangkan pada masa perdagangan barter sejak abad 15 diteruskan ke abad 16 dan 17 oleh pedagang Portugis yang mendatangkan gading dari Jawa, Sumatera, India dan Afrika.
Kini gading batangan di Sikka dan Flores Timur warisan kerajaan masa lampau sudah semakin berkurang karena diperjualbelikan atau dibuat menjadi barang kerajinan dan asesoris.
Walau kian langka, hingga kini hampir di seluruh kecamatan di Sikka yang berbahasa Sikka Krowe masih memelihara tradisi pembelisan berupa gading ini.

 

Jalan Gerabah Perempuan Wuu

Sebagian besar perempuan di Dusun Wuu, Desa Wolokoli, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, menyandarkan hidup dengan membuat gerabah. Bagaimana mereka mampu bertahan hidup?

PERALATAN dari gerabah atau keramik sejak zaman nenek moyang dipergunakan sebagai perlengkapan rumah tangga. Sentra kerjinan gerabah ditemukan hampir di setiap daerah di negeri ini termasuk di Kabupaten Sikka. Bagi masyarakat Sikka, bicara gerabah maka pasti akan merujuk sebuah dusun di Kecamatan Bola. Di Bola kini tersisa tiga dusun yang masih setia dengan produksi gerabahnya.
Bertandang ke Kecamatan Bola ada baiknya mampir ke Dusun Wuu untuk melihat langsung pembuatan gerabah yang masih memakai cara tradisional warisan leluhur. Tris, seorang perempuan pengrajin gerabah yang ditemui di rumahnya menyebutkan, kini tersisa tiga dusun saja yang masih bersikutat membuat gerabah yakni, Dusun Wuu, Dusun Wolokoli, dan Dusun Gedo, ketiganya berada di Desa Wolokoli.
Menurut Tris, dirinya sudah tiga tahun bergelut dengan tanah liat untuk menghasilkan kendi  untuk memasak arak yang dalam bahasa lokal disebut unu tua. dan periuk. “ Sudah tiga tahun terakhir, saya membuat gerabah sepulang merantau dari Kalimantan, apalagi suami tercinta telah dipanggil Yang Kuasa lima tahun silam, ” ujar ibu dua anak ini.
Disebutkan Tris, keahlian membuat keramik ini diwariskan oleh orang tuanya dan sudah dilakukan turun temurun. Setidaknya ada enam keluarga di Dusun Wuu yang masih aktif membuat gerabah. “ Tanah untuk bahan gerabah kami beli di Dusun Gedo. Ukuran satu sak semen seberat 40 kilogram dibeli seharga Rp 25 ribu,“sebutnya.
Tempayan untuk merebus arak yang dihasilkan perempuan pengrajin asal Dusun Wuu, Kecamatan Bola, Sikka. Foto: FBC/Ebed de Rossary
Tempayan untuk merebus arak yang dihasilkan perempuan pengrajin asal Dusun Wuu, Kecamatan Bola, Sikka. Foto: FBC/Ebed de Rossary
Sekarung tanah liat, katanya lagi, bisa menghasilkan kendi untuk merebus arak ukuran besar yang dijual seharga Rp 150 ribu. Kendi ini biasanya dijual di Pasar Geliting yang berjarak 24 kilometer dari dusunnya.
Dalam sebulan, dirinya bisa menjual empat kendi ukuran besar seharga 150 ribu dan empat periuk kecil seharga Rp 50 ribu. “ Kalau dulu awal Juni atau Juli sudah mulai buat gerabah. Sekarang ini kami mulai kerja bulan April dan berakhir di di bulan Desember. Kalau musim hujan tidak kerja, kami berkebun dan menenun sarung “ tambah ibu dari Emilianus Moa Jo dan Imelda Dua Afri ini lagi.

Peralatan Sederhana
Tris menceritakan, tanah yang dibeli lantas dijemur selama tiga hari tergantung panas matahari, dan sesudahnya di ayak. Tanah liat dibentuk memakai alat sederhana berupa kayu bulat berdiameter 10 sentimetrer dengan panjang 30 sentimeter buat melubangi bagian dalam.
Sementara kayu pipih selebar tangan dipakai memukul dan merapikan bagian luarnya. Kayu bundar sebesar ibu jari dicelupkan ke air untuk merapikan bagian dalamnya. Setiap kali merapikan gerabah, kayu selalu dicelupkan ke air terlebih dahulu biar permukaan yang dibentuk menjadi licin. Sedangkan kain keras (bahan jeans) seukuran kepalan tangan dipakai merapikan hasilnya.
Tris, pengrajin gerabah asal Dusun Wuu, tetap mempertahankan teknik tradisional. Foto: FBC/Ebed de Rossary
Tris, pengrajin gerabah asal Dusun Wuu, tetap mempertahankan teknik tradisional. Foto: FBC/Ebed de Rossary
“Selesai dijemur, gerabah dibakar di tungku seperti membakar batu bata. Kalau cepat sejam sudah selesai. Tapi itu tergantung nyala apinya. Kalau nyalanya kurang bisa sampai dua jam. Biasanya kami pakai kayu bambu karena mudah didapat di sekitar tempat tinggal kami, “ tutur Tris.
Sejauh ini, yang menjadi kendala bagi pengrajin seperti Tris adalah permodalan. Tris memohon agar pemerintah bisa membantu pengrajin gerabah di desanya dengan memberikan tungku pembakaran gerabah atau uang untuk membeli tanah liat. “Kalau buat gerabah pakai mesin kami belum bisa karena belum pernah ikut pelatihan. Saya akan terus bertahan menekuni pekerjaan ini dengan alat tradisional. Anak saya yang perempuan juga sudah mulai tertarik dan belajar membua gerabah, “ pungkasnya. (*)
Penulis: Ebed de Rossary
Editor: EC. Pudjiachirusanto

BUDAYA NGADA


Melalui Reba Warga Bajawa Kembali ke ‘Jalan Benar’

Setahun sekali warga Bajawa, Kabupaten Ngada, menggelar ritual adat Reba, sebagai sarana refleksi empat sub-etnis untuk menyatukan pikiran demi menjaga harmoni hidup. Seperti apa?
ritual-reba-05
Para pemangku adat (Ana Ma’u) sedang berada di Ture untuk memanggil seluruh arwah. (Foto: FBC/Ian Bala)
BAGI masyarakat Bajawa, upacara adat Reba merupakan momentum tahunan untuk menyamakan persepsi dalam kehidupan sosial pada tahun berikutnya. Persamaan persepsi yang dimaksud adalah memperbaikan kehidupan yang keliru–dalam bahasa Bajawa disebut la’a sala atau jalan salah untuk kembali ke jalan yang benar. Ada beragam versi makna Reba, namun umumnya ingin menjaga kehidupan sosial masyarakat Ngada yang harmonis, membangun keberadaban relasi antar keluarga dalam kehidupan bermasyarakat serta menaati dan mematuhi warisan-warisan leluhur.
Saat saya menyaksikan ritual adat Reba Nage di Kampung Nio, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada, baru-baru ini, terdapat beberapa tahap ritual yaitu Reba Uma, Reba Meri, Tege Kaju, Reba Bhaga, Reba Sa’o dan tahap penutup dinamakan Su’i Uwi. Kampung Nio dihuni empat suku yaitu suku Sebo, suku Metu, suku Baku Lizi dan suku Kila. Keempat suku ini berada di perkampungan Nio dengan rumah adatnya (sa’o) masing-masing.
Upacara ini biasa dilakukan di kebun masing-masing suku. Kepala Suku atau mosalaki bersama anggota suku mulai berangkat dari sa’o menuju kebun dengan membawa nasi, ayam, pisau, dan tuak (moke). Di kebun mereka langsung menuju ke tengah kebun yang dinamakan “Ngedu”. Ngedu ini adalah sebuah tempat persis di tengah kebun di mana sebagai tempat persemaian makanan untuk nenek moyang.
Mosalaki dan anggota suku duduk melingkar di Ngedu, kemudian salah seorang anggota suku memegang ayam dan duduk berhadapan mosalaki. Mosalaki kemudian mencabut bulu ayam di kepala ayam lalu mengucapkan bahasa adat sebagai berikut :
Mate manu dia..
Kami ngeta da mori watu mori tana,
Kami da reba uma,
Mia da kage tego, weri waja,
Kami ngede miu ti’i peni wesi loka wi lowa,
Kami ngo bojo nee koko, kema goi bedha nee oli,
Manu kau ura zia, bhoko sa wolo milo bholo,
Lewa kau noza nea, zala kau ngere gega.
Artinya : “Kami datang ke tuan kebun dan tuan tanah untuk mengadakan reba kebun, orang kuat berbicara, kami minta untuk melindungi ternak (ayam dan babi), kami kerja supaya dapat hasil, tidak cuma-cuma kami kerja. Ayam berikan petunjuk, bukalah jalan yang tertutup dan berikan kami jalan kebenaran”.
Setelah mate manu, ayam dipotong oleh salah seorang anggota suku lalu dibakar. Ayam tadi dibelah untuk melihat isi perutnya oleh mosalaki yang membaca mantra tadi. Perut dan empedu ayam dilihat kondisinya sesuai dengan ‘petunjuk langit’ apakah tahun depan yang akan diarungi akan memberikan kebaikan atau keburukan. Mosalaki menyampaikan petunjuk isi perut ayam itu kepada semua anggota suku yang hadir pada saat itu jika ada hal-hal yang tidak baik dalam kehidupan ke depan, misalnya seperti kecelakaan, kematian, cuaca buruk, gagal panen, hasil kebun yang baik dan sebagainya. Setelah melihat petunjuk tersebut, ayam dimasak dan dimakan bersama.
ritual-reba-01
Acara tedho telo depan rumah adat (Ana Ma’u). (Foto: FBC/Ian Bala)
Sebelum acara makan dilakukan acara yang dinamakan fedhi. Mosalaki memercikan tuak yang disimpan di tempurung kelapa untuk diberikan kepada nenek moyang. Mosalaki memanggil semua nenek moyang dalam suku yang telah meninggal untuk bersantap bersama dengan para anggota suku. Lalu semua anggota mencicipi daging ayam, nasi dan tuak. Setelah itu, semua anggota suku dan mosalaki kembali ke sa’o (rumah adat).
Setelah reba uma, akan dilanjutkan reba meri yang dilakukan di sebuah tempat persembahan (meri) persis di belakang rumah adat. Semua anggota suku tadi menuju ke meri untuk memberi sesajian kepada leluhur. Mosalaki dan semua anggota suku berangkat dari sa’o bawa serta nasi, ayam, pisau dan tuak.
Acara reba meri tetap dipandu oleh mosalaki dan anggota suku turut menyaksikan. Semua berkumpul di sekitar meri kemudian salah seorang dari anggota suku memegang ayam untuk melakukan mate manu (mantra) oleh mosalaki. Mosalaki mencabut bulu ayam di bagian kepala lalu mengucapkan:
Mate manu dia,
Kami ni ti’i ine ema bunu si,
Miu da punu gua pera noa,
Miu da nana na’a, nana pia,
Kami wa tedu sa zebu mae peju,
Kami da dhepo pata dela ma,e bheka,
Manu kau ura zi’a,
Bhoko sa wolo mila bholo,
Lewa noza nea, zala kau ngere gega.
Artinya : “Kami beri makan untuk semua nenek moyang, kamu yang sudah ajarkan budaya, adat dan mewariskan ke setiap generasi, kami akan ikut terus warisan dan tidak akan lepas, kami ikut pesan leluhur. Jangan lupa, beri kami petunjuk yang baik, jika ada yang menutup jalan tolong dibuka dan berikan kami jalan kebenaran”.
ritual-reba-02
Acara tedho telo depan rumah adat (Ana Ma’u). (Foto: FBC/Ian Bala)
Setelah upacara reba uma dan reba meri pada pagi dan siang hari, dilanjutkan dengan upacara tege kaju (kaju lasa) yang dilakukan pada sore hari. Secara harafiah, tege kaju artinya masukan kayu api ke dalam sa’o. Kayu api tersebut sudah dipotong atau dibelah dengan ukuran panjang kurang lebih 1-1,5 meter sesuai dengan ukuran tempat di dalam sa’o yang dinamakan kae -tempat berbentuk para-para di atas tungku api dengan ketinggian kurang lebih 2 meter-. Kayu tersebut disiapkan satu bulan sebelum menjelang reba dan diletakan di tenda depan sa’o yang dinamakan padha.
Dalam pelaksanaan upacara tege kaju harus dimulai dari sa’o pu’u atau rumah adat utama. Sa’o pu’u itu adalah rumah adat utama yang dikumpulkan dari berbagai suku. Kayu api dimasukan di dalam sa’o pu’u dan diletakan di kae. Jenis kayu api isi sehingga bisa menghasilkan bara api yang besar sebab selama upacara reba berlangsung, masing-masing rumah tidak boleh meminta api dari rumah lain dan selama perayaan reba tidak ada satu anggota rumah pun yang pergi ke kebun sebab panennya bisa gagal.
Selanjutnya seluruh warga sa’o bersama-sama makan minum perjamuan tege kaju dan pada intinya makan bersama. Bukan banyak sedikitnya makanan tetapi seperti filsafat adat atau budaya Bajawa mengatakan ka papa fara, inu papa resi, artinya makan bersama dalam satu wadah, minum bergilir dari satu cangkir. Filsafat ini menunjukan kebersamaan dalam keluarga, meskipun tantangan yang dihadapai oleh keluarga tersebut akan ditopang oleh keluarga lainnya. (*)
Penulis: Ian Bala
Editor: EC. Pudjiachirusanto






Kosa Kata

Betho = Betong (Manggarai) = Bambu
Wolo = Wolo  (Ende) = Gunung
Meze = Mese (Manggarai) = besar
Kesambi = Sambi (Manggrai) = Sambi
Wae = (Air? - Ngada),  = Wae = air (Manggarai), e..g. Wae Kelambu Desa Sambi Rasa Barat Kecamatan Riung Kabupaten Ngada. (https://nttbangkit.com/berita/4128/kunjungi-labuan-kelambu-gubernur-laiskodat-fokus-budidaya-ikan-karapu/)


_______

Lagu NGADA

ANA LEBU DEWA ( ANAK DOMBA ALLAH )




 

BUDAYA LAMAHOLOT

Persamaan  Lamaholot  dengan Budaya Manggarai

Ata (Lamaholot) = orang (?) 
Ite  (Lamaholot) = kita (?) 

https://www.youtube.com/watch?v=tOTJpz0fg7Y





Budaya Lamaholot  bisa dilihat dalam  situs berikut:
https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4972/3394



Memberi makan nenek moyang = .......(teing hang - Manggarai).
JPS, 2 Juni 2022



Wato Wele - Lia Nurat

Kisah ini merupakan mitos asal usul suku Lamaholot

Suku-suku Lamaholot  lahir dari Wato Wele - Lia Nurat ini
Wato Wele - Nia Nurat hidup di Gunung (Ile) Mandiri.
Mereka  merupakan  kembaran yang lahir dari telur burung elang.
Mereka punya kepandian untuk membuat api.


Menurut  mitos ini, manusia lahir dari dari berbagai hal, benda bergerak dan tak bergerak
Benda bergerak  dan tak bergerak
  1.  Burung elang  dan telurnya. Wato Wele - Lia Nurat  merupakan kembaran yang menetas dari telur elang
  2. Babi : orang Maluku  menghadiahkan 2 babi kepada leluhur Lamaholot, lalu babi itu menjadi manusia, laki-laki dan wanita. (Mungkin ini alasan mengapa babi begitu dekat dengan kehidupan orang Flores)
  3. Manusia hutan yang berbulu  yang ternyata wanita  cantik (Wato Wele)
  4. Batu : ada batu yang menjadi manusia.

Wato wele - (perempuan)  -  bersaudara  dengan  Pati Golo (laki).  Suatu saat mereka berpisah. Lalu mereka bertemu lagi, lalu menikah. Tapi mereka tak tahu bahwa mereka bersaudara. Suatu hari Wato Wele mencari kutu pada kepala suaminya (Pati Golo). Dia mendapati luka pada kepala  suaminya. Dia teringat  luka pada kepala adiknya. Pada masa lalu Wato Wele memukul adiknya dengan kayu (.....) hingga ada bekas luka (codet) di kepalanya, hanya karena adiknya tak memberikan tuak (moke) kepadanya.
Ketika melihat bekas luka pada kepala suaminya saat mencari kutu Wato Wele  sadar  dan curiga jangan-jangan suaminya adalah adiknya. Jadi mereka merupakan kakak  dan adik (suadaa-saudari) hal mana sesuatu yang tabu bila  melangsungkan perkawinan. Jadi di sini terjadi perkawinan sumbang (incest).

Watu Wele  punya hubungan  dengan  penguasa dan rakyat Timor.


Sumber: Kisah Wato Wele - Lia Nurat   oleh  Yoseph Yapi Taum  (edisi internet: http://floressastra.com/2016/03/02/kisah-wato-wele-lia-nurat-dalam-tradisi-puisi-lisan-flores-timur-yoseph-yapi-taum/)

JPS 22 Maret 2017.


Doa  adat saat panen:

Bapa Lera Wulan lodo hau                Bapak Lera Wulan turunlah ke sini
      Ema Tanah Ekan gere haka              Ibu Tanah Ekan bangkitlah ke sini
      Tobo tukan                                         Duduklah di tengah
      Pae bawan                                          Hadirlah di antara kami
      Ola di ehin kae                                    (Karena) kerja ladang sudah berbuah
      Here di wain kae                                (Karena) menyadap tuak sudah berhasil
      Goong molo                                        Makanlah terlebih dahulu
      Menu wahan                                      Minumlah mendahului kami
      Nein kame mekan                              Barulah kami makan
      Dore menu urin                                 Barulah kami minum kemudian

http://adonarakayan.blogspot.co.id/2013/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html

JPS, 29 Maret 2017


Berita  Flores Timur

Rumah Adat Korke Bale

Bermuaranya Suku-suku di Riangkemie

Sebagai penanda eksistensi komunitas suku-suku, korke bale menjadi tempat bermusyawarah anak suku di Desa Riangkemie untuk menyelesaikan sengketa, dan merancang masa depan

BAGI masyarakat Lamaholot–sebutan bagi suku-suku di Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan Solor–, rumah adat (korke) penting sebagai penanda eksistensi sebuah suku atau komunitas suku di sebuah wilayah. Salah satu komunitas suku yang ada di Kabupaten Flores Timur berada di Desa Riangkemie, Kecamatan Ile Mandiri.
Rumah adat atau dalam bahasa Lamaholot disebut korkē berbentuk rumah panggung tanpa dinding yang ditopang dengan delapan buah tiang utama. Rumah adat ini dibangun melalui proses panjang dengan serangkaian ritual dimulai dari pemilihan bahan dan penebangan pohon sampai rumah adat tersebut selesai dikerjakan.
Pengerjaan bangunan rumah adat dilaksanakan pada siang hari dan di malam harinya masyarakat menjaganya sambil menari dan bernyanyi, mengisahkan asal usul dan berbagi kisah mitologi. Kegiatan ini berlangsung terus menerus sampai proses pengerjaan rumah adat selesai.
Korkē biasanya didirikan di tengah-tengah kampung dan dikelilingi rumah-rumah adat dari suku yang berperan dalam wilayah tersebut. Rumah adat korkē merupakan bangunan yang sangat penting dan sangat  disakralkan oleh masyarakat suku yang memilikinya.
Korke bale di Desa Riangkemie, Flores Timur. (Foto: FBC/Ebed de Rosary)
Korke bale di Desa Riangkemie, Flores Timur. (Foto: FBC/Ebed de Rosary)
Riangkamie
Desa Riangkemie yang dikenal masih memiliki tradisi ritual adat,  berjarak sekitar 20 kilometer dari kota Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur. Menempuh perjalanan ke arah Barat kota Larantuka hingga pertigaan jalan seberang jembatan Oka kita akan berbelok ke Utara menyusuri jalan aspal dengan kondisi jalan yang sebagiannya masih berlubang sana-sini.  Rumah adat yang dinamakan korke bale berada di tengah kampung persis di belakang poliklinik Desa Riangkemie.
Kepala Desa Riangkemie, Thomas Iryanto Lewar menceritakan kepada saya bahwa, korke bale dikenal juga dengan nama Si Ola, karena bapak Si Ola adalah orang yang membawa tempat ini dalam bentuk jadi dari suatu tempat  yang dinamakan Wulan.
Menurut Thomas, pekerjaan pembuatan koke bale penuh aroma mistik. Si Ola diharuskan membangun koke bale dalam waktu empat hari. Pekerjaan ini harus dilakukan untuk memenuhi permintaan Raja Lagadoni yang anaknya ingin dinikahinya.
“ Si Ola mampu menjawab tantangan raja membangun koke bale dalam waktu hanya empat hari. Semua ini dilakukan dengan dibantu kekuatan gaib sehingga koke ini merupakan hasil dari kerja tangan gaib termasuk motif Si Ola yang cuma ada di daerah sini. Dia harus membangun ini karena cinta dengan anaknya Raja Lagadoni, “ ujar Kades Thomas.
Koke bale yang ada sekarang, kata Thomas lagi, dibangun tahun 1913 saat warga Desa Riangkamie pindah ke lokasi yang sekarang. Sebelumnya, kampung lama berada di atas gunung dan masyarakat pindah ke tempat sekarang yang berada di bawah, setelah jalan dibuka oleh pemerintah kolonial Belanda.
Koke dipakai sebagai tempat bertemunya semua anak suku untuk baung boting atau musyawarah dalam merencanakan sesuatu seperti membuka kebun atau lainnya. Di bawah koke bale terdapat halaman yang dipakai selain untuk berkumpul juga menari dolo-dolo.
Diukir Rayap
Dikisahkan Ino Lian seorang kepala dusun yang ikut mendampingi Kades Thomas, tahap pertama membuat koke bale dilakukan dengan menyiapkan tiang atau rie oleh suku-suku yang ada di desa. Ada delapan tiang utama yang melambangkan delapan suku yang ada, dan berperan di desa ini yakni Koten, Kelen, Hurit, Maran, Mukin, Molan, Lian dan Beguir. Dikatakan Yoseph, suku yang sudah menyatu di dalam ini seperti Lewar, Welan, Kelen Nara Ebang, Blemang dan Weking dilibatkan.
Tiang bagian kanan, kata Ino, berasal dari kayu khusus yakni kayu kepapa yang disiapkan suku Koten. Semua kayu dan peralatan  yang dipakai membangun korke bale dibawa masuk ke desa dengan menggelar ritual adat terlebih dahulu.
Thomas Iryanto Lewar, Kades Riangkemie di depan koke bale. (Foto : FBC/Ebed de Rosary)
Thomas Iryanto Lewar, Kades Riangkemie di depan koke bale. (Foto : FBC/Ebed de Rosary)
“Kita semua menyiapkan atap yang namanya nuki yang berasal dari daun lontar, sementara bambu disiapkan secara gotong royong. Jika semuanya lengkap pada saat pembuatan, tiap malam harus ada yang jaga sampai pekerjaan selesai. Suku Molan Lango Biri yang membangun korke ini. Ukiran di tiang ini mereka yang ukir sebab mereka ketutunan dari Si Ola, “ jelasnya.
Ukiran di tiang namanya kenire Si Ola atau motif Si Ola. Di Flores ukiran motif ini hanya ada di rumah adat korke bale. Ukiran ini, kata Ino, tidak dihasilkan oleh tangan manusia tapi dibentuk oleh rayap dan ukiran ini hanya bisa dilakukan oleh keturunan dari Si Ola.
Ukiran di korke bale yang ada sekarang ini, tambah Ino, diukir oleh seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar tanpa belajar terlebih dahulu. Karena dia turunan dari Si Ola maka dengan sendirinya bisa melakukan itu.
Meterai di Dahi
Setelah pekerjaan pembangunan koke bale selesai, tutur  Thomas, saat upacara seremonialnya semua suku-suku diundang termasuk suku yang punya hubungan dengan desa ini tapi yang berada di luar desa. Raja dari Larantuka juga diundang.
“Sebelum dibuat ritual adat di koke bale, dibuat dulu adat di pinggir kampung yang disebut blakun. Upacara dilakukan dengan membuat sebuah sesajen sebagai isyarat kepada roh-roh jahat di mana mereka sudah kita berikan bagiannya berupa makanan sehingga mereka tidak masuk kampung lagi. Juga kita berikan keberanian kepada panglima perang waktu itu (zaman dahulu) dengan memberikan makan secara khusus,”sambung Thomas yang beribukan perempuan asal Pulau Semau, Kabupaten Kupang.
Setelah itu, urai Thomas, seremonial lanjutan digelar dengan menyembelih hewan korban. Ada beberapa pihak, dimulai oleh pihak pertama belake setelah itu pihak kedua Opu dan pihak ketiga Ema Bapa. Dan juga penghargaan khusus kepada raja yang datang.
Saat seremonial adat, ungkapnya, tokoh-tokoh adat akan makan sirih pinang bersama kemiri dan air liur mereka ditampung. Setiap orang yang ada di desa diberi tanda atau dimeteraikan (nilu) di dahi dan leher memakai tampungan air liur tersebut sebagai tanda kita diberikan kekuatan untuk menghindarkan diri dari penyakit dan gangguan lainnya. (*)
Penulis: Ebed de Rosary
Editor: EC. Pudjiachirusanto


Suku Welan Gelar 'Reka Ahink'

Usir Roh Jahat Kambing pun Disembelih

Reka ahink merupakan ritual adat yang digelar sebagai bentuk penghargaan kepada roh jahat dengan memberi sesajen berupa penyembelihan seekor kambing di ujung kampung. Dengan begitu, roh jahat pun tidak masuk ke kampung lagi

WARGA Desa Riangkamie, Kecamatan Ile Mandiri, Kabupaten Flores Timur siang itu terlihat sangat sibuk. Sejak pagi hari warga suku Welan dan semua  suku yang tergabung dalam rumah adat yakni Koten, Kelen, Hurit dan Maran mulai menyiapkan diri menggelar ritual adat reka ahink.
Upacara adat reka ahink dilakukan dalam suatu rangkaian kegiatan pembangunan rumah adat (korke) suku Welan. Kepala Desa Riangkamie,Thomas Iryanto Lewar, di balai desa Riangkamie mengatakan, upacara adat yang berlangsung di ujung kampung tersebut melibatkan semua suku mulai dari Welan, Molan, Weking, Maran, hingga suku Kelen Nara Eban.
Suku Koten memegang kepala, Kelen memegang ekor, Hurit menyembelih sedangkan Maran yang membaca mantra saat penyembelihan hewan korban ( Foto: FBC/Wentho Eliando )
Suku Koten memegang kepala, Kelen memegang ekor, Hurit menyembelih sedangkan Maran yang membaca mantra saat penyembelihan hewan korban ( Foto: FBC/Wentho Eliando )
Dikisahkan Thomas, upacara adat dibuka dengan pembacaan doa dan mantra dalam bahasa adat oleh Simon Pati tokoh adat suku tersebut sementara para tetua adat suku lainnya duduk membentuk lingkaran. Setelah itu, seekor kambing yang akan disembelih dibawa ke tengah lingkaran. Perwakilan dari suku yang memegang peran Koten, Kelen, Hurit dan Maran pun maju dan melaksanakan tugasnya.
Dalam setiap ritual adat penyembelihan hewan korban, jelas Thomas, suku Koten bertugas memegang kepala, Kelen memegang ekor, Hurit menyembelih korban sementara Maran bertugas membaca mantra.
Kambing yang disembelih dimasak dan dimakan sampai habis di lokasi upacara dan tidak boleh dibawa pulang. Setiap orang yang berada di lokasi upacara wajib makan bersama.
Selepas hewan korban disembelih, lanjut Thomas, para tetua adat membaca doa dan mantra dan mengunyah sirih pinang bersama kemiri. Air liurnya ditampung di tempurung kelapa dan dipakai untuk memberi tanda atau memateraikan setiap orang yang hadir dalam upacara tersebut.
“ Saat seremonial adat, tokoh-tokoh adat akan makan sirih pinang dan kemiri dan hasil air liurnya ditampung. Setelah itu setiap orang yang hadir diberi tanda atau diistilahkan dengan dimaterai pada dahi dan leher memakai tampungan air liur tadi,”kata Thomas.
Kades yang ibunya berasal dari Pulau Semau ini menerangkan, materai  yang dilakukan di dahi sebagai tanda bahwa orang  diberikan kekuatan agar terhindar dari penyakit dan gangguan lainnya.
Tokoh adat suku Welan, Simon Pati menambahkan, upacara adat ini bagian tak terpisahkan dari pembangunan rumah adat suku Welan. Rangkaian upacara adat ini melibatkan semua suku yang tergabung dalam rumah adat di Riangkamie.
“ Upacara kami lakukan di ujung kampung dengan memberi sesajen berupa kambing sembelihan. Kami membuat upacara di ujung kampung dengan memberi makan atau memberi bagian kepada roh-roh jahat agar mereka tidak masuk kampung dan mengganggu apa yang akan kami lakukan, karena kami sudah beri mereka makan di tempat ini,“ jelas Simon.
Ritual adat reka ahink ini, tambah Simon, hanya awal dari digelarnya serangkaian ritual adat dimana semua suku dan anak suku terlibat sesuai perannya masing -masing. Upacara adat berlangsung saat awal pembangunan korke hingga berakhirnya proses pembangunannya.
Dikunjungi Wisatawan
Semua ritual adat yang digelar di Desa Riangkamie ini merupakan kekhasan adat dan budaya yang masih dipertahankan. Hampir setiap ada pembangunan atau renovasi rumah adat (korke) selalu digelar ritual adat. Selain itu, seperti dikatakan Kepala Desa Riangkamie Thomas Lewar kepada saya di rumah adat korke bale, di desa ini juga digelar berbagai ritual adat lainnya.
Hal ini membuat Desa Riangkamie sering dikunjungi wisatawan domestik dan wisatawan asing. Selain mengunjungi rumah adat, para wisatawan juga bisa menyaksikan warisan adat budaya lainnya seperti barang-barang di rumah adat misalnya gading pusaka dan aneka barang antik lainnya.
“Kami akan melibatkan pemerintah khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat agar ritual adat ini bisa dipromosikan sebagai objek wisata. Kami juga akan mengundang rekan-rekan media untuk membantu mempromosikan dan mendokumentasikan kekayaan adat dan budaya ini supaya tetap dikenang dan dilestarikan, “ tambah Thomas.
Hewan korban untuk sesajen yang akan disembelih saat ritual reka ahink ( Foto : Wentho Eliando )
Hewan korban untuk sesajen yang akan disembelih saat ritual reka ahink ( Foto : Wentho Eliando )
Setiap bulan Oktober, beber Thomas, Desa Riangkamie juga akan menggelar ritual adat secara besar-besaran dengan melibatkan semua suku yang ada di desa ini.
Di Desa Riangkamie menurutnya, terdapat delapan suku yakni Koten, Kelen, Hurit,  Maran, Mukin, Molan, Lian dan Beguir. Selain itu juga terdapat suku lainnya yang sudah menyatu di dalam ini seperti suku Lewar,Welan, Kelen Nara Ebang, Blemang serta Weking.
“ Ada satu orang bule bersama isteri yang sering ke sini meliput upacara adat. Kami sudah nobatkan dia menjadi anak suku di sini dengan menggelar ritual adat. Dia bersama isteri juga sudah diberi nama sehingga kami merasa dia sudah menjadi bagian dari keluarga besar suku kami. Pernah dia mau membangun pabrik pengolahan mente di sini bersama mitranya tapi tidak terealisasi. Kalau ada ritual adat besar di desa ini, dia selalu kami undang untuk hadir, “ pungkasnya. (*)
Penulis: Ebed de Rosary
Editor: EC. Pudjiachirusanto

________

(https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4972/3394), p. 53.


Belake (Lamaholot?)   = Om  (Amang = Manggarai(. ?)

Belake adalah  status  yang  melekat dalam diri anggota suku yang memberikan perempuan dari sukunya untuk dipinang oleh pihak opu (Tukan  &Tukan,1995:  20).

Opu adalah  status  yang  melekat  pada  diri  anggota  suku  yang meminang  seorang  perempuan  dari  suku  lain.(Tukan  &Tukan,1995:  20).


NB, 

Belake  (Lamaholot) = Anak Rona dalam  Budaya Manggarai  = pihak keluarga pemberi perempuan dalam relasi perkawinan. 

Opu  (Lamaholot) = Anak Wina  dalam  Budaya Manggarai  = pihak keluarga penerima i perempuan dalam relasi perkawinan. 



“likat telo” (likat= tungku, telo:tiga) - Lamaholot;  dalam B. Manggarai,   Likang = tungku, telu = tiga

ewo(kampung).
(https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4972/3394)
*******

lewo = kampung  (https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4972/3394), p. 53.



kampung).


___________

https://www.youtube.com/watch?v=YJ_YKeZQlzI


Lera wulan  (Matahari - Bulan)  Ina Tna Ekan (Ibu  Bumi)


Teori Teologi  Paul Ilich )Teolog Protestan):  "Budaya adalah substansi agama"