Gua Ru, Ritual Memanggil Hujan
Sebelum bercocok tanam, masyarakat adat suku Lape
di Kabupaten Nagekeo, biasa mengadakan ritual adat yang dinamakan gua
ru. Secara harafiah, gua ru artinya ritual musim hujan. Maksud dari
ritual gua ru adalah memanggil hujan untuk membasahi lahan bertani
sehingga tanaman dapat tumbuh subur dan membawa hasil yang melimpah
RITUAL adat gua ru biasanya dilakukan sebelum musim hujan tiba. Semua anggota suku, atau lazim disebut woe, wajib mengikuti semua rangkaian ritual adat gua ru di Ola Lape atau kampung adat Lape. Ola Lape adalah tempat utama dalam setiap rangkaian ritual adat, di mana terdapat rumah adat dari masing-masing suku atau woe.
Satu minggu sebelumnya, ketua suku–pemangku adat pada ritual gua ru yang sudah ditentukan–menyampaikan bahwa akan diadakan ritual tersebut kepada setiap anggota suku atau woe pada masing-masing rumah adat. Sehingga masing-masing anggota suku mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan selama proses ritual gua ru.
Gua ru kali ini akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Satu hari sebelumnya, semua anggota suku sudah berada di Ola Lape untuk menyiapkan beberapa bahan seperti kayu api, tempat ritual, dan beberapa persiapan di rumah adat (sa’o) masing-masing.
Setiap anggota suku atau woe yang hendak mengikuti perayaan adat ini, wajib membawa ayam kampung sebagai persembahan kepada leluhur suku Lape. Dahulu sebelum agama-agama dari ‘tanah seberang’ memasuki Ola Lape, kepercayaan rakyat Lape berpegang teguh pada tradisi warisan leluhur ini.

Tahap Ritual
Ada beberapa tahap ritual gua ru suku Lape. Di antaranya, pertama: Pogo Sora Pase atau tahap potong bambu (aur untuk sora), potong kayu untuk api unggun, dan potong bilah bambu untuk api penyuluh. Tahap ini dilakukan pada hari sebelum melakukan ritual utama gua ru. Meskipun masih tahap persiapan, menurut rangkaian ritual gua ru termasuk dalam rangkaian secara keseluruhan.
Kedua, Relo Sora Pase. Tahap ini adalah ketika ketua suku masing-masing sa’o (rumah adat) menyalakan api pada bilah bambu dari lika lapu atau dapur dalam rumah adat lalu dipanaskan pada aur (sora) yang disimpan di depan sa’o. Tahap ini bermaksud supaya tanaman (padi) bertumbuh subur dan membawa hasil yang baik.
Ketiga, Zago Podo. Artinya gladi resik untuk ritual esok harinya. Zago Podo ini dilakukan di Sa’o Waja Kebe Riwu atau di rumah adat utama seorang kepala suku sebagai pemandu ritual berikutnya. Pada intinya, tahap ini untuk melatih ritual yang akan terjadi pada hari berikutnya, sehingga tidak terjadi kesalahan. Jika terjadi kesalahan akan berakibat fatal bahkan dapat menelan korban jiwa seluruh anggota suku yang terlibat dalam ritual itu. Tahap ini diikuti semua ketua suku dari masing-masing sa’o. Ketiga tahap ini, dilakukan pada malam pertama di Ola Lape.
Keempat, Kema Ruba. Tahap ini dilakukan pada hari kedua. Semua anggota suku–khusus laki-laki–membuat ruba atau tenda untuk tempat berteduh saat ritual berlangsung. Pembuatan ruba dilakukan di Kuka (kampung pertama Lape) sekitar satu kilometer dari sa’o. Kuka adalah nama tempat di mana ritual gua ru dipusatkan.
Setiap sa’o memiliki satu ruba. Ukuran ruba sesuai dengan keinginan anggota suku, namun tidak lebih besar dengan ruba utama sebagai pusat ritual. Di dalam ruba terdapat tiga buah batu untuk tempat duduk saat anggota suku istirahat. Batu tersebut ditanam berjejeran.
Kayu-kayu api yang sudah disiapkan pada tahap pertama, disusun ditempat api unggun, berdekatan dengan ruba. Kayu-kayu tersebut akan dibakar selama proses ritual dan tidak boleh padam. Jika api di salah satu ruba padam, maka seluruh anggota suku dalam ruba tersebut akan meninggal dunia. Begitu mitos yang dipercayai suku Lape ini. Setiap ruba bersama-sama mengerjakan ruba utama

Kelima, Dhaki Api. Pemangku adat utama (mosalaki) di sa’o kebe riwu mulai memasang api di sa’o pu’u. Mosalaki keluar dari sa’o pu’u
sambil memegang bilah yang sudah dipasang api lalu mengumumkan kepada
seluruh anggota suku di Ola Lape dengan menggunakan bahasa adat atau Pata:
Zele ulu lau eko, pipi zili ghoe lau
Ni kita gedho ana kedhi
Artinya : orang di atas, di bawah dan sebelah kiri dan kanan. Kita mau keluar menuju Kuka.
Mosalaki bersama pemangku adat lainnya melakukan arak-arakan menuju Kuka. Perarakan tersebut secara berurutan sesuai dengan sa’o adat mulai dari Pemangku adat (mosalaki), suku Nakanawe, Roga Wawo, Roga Au, Naka Zeta Wawo, Naka Zale Au, Woe Renge dan terakhir suku Ko.
Semua anggota suku mulai dari anak-anak sampai orang dewasa menuju Kuka untuk mengikuti ritual gua ru. Masing-masing rumah adat membawa serta sora pase.
Mosalaki yang menjadi pemandu rituan gua ru mulai memasang api di panggung utama yang dinamakan Rada Garo–tempat api unggun utama–. Api yang sudah dipasang tidak boleh padam selama masih ritual gua ru. Masing-masing ruba bertanggung jawab atas api unggun utama. Selalu menghidupkan api unggun utama, jika api padam menurut kepercayaan suku Lape, seluruh anggota suku yang terlibat dalam ritual tersebut akan meninggal dunia.
Setiap ruba mulai memasang api di Rada Garo sesuai dengan urutan perarakan sebelumnya. Api tersebut kemudian dipasang di ruba masing-masing yang sudah disiapkan sebelumnya. Setiap ruba terus memastikan api di masing-masing ruba dan di Rada Garo agar tidak padam.
Keenam, Esu Podo Rawu. Sebelum melakukan esu podo rawu, para mosalaki mencari dua ana weta (pihak perempuan atau saudari) dan dua ebu ta’u (pihak Om atau paman) yang diwakili anak-anak. Ana weta dan ebu ta’u ini bertujuan untuk memberikan makanan dan moke atau tuak. Tuak tersebut dituangkan di dalam podo rawu (periuk tanah dari puluhan abad yang lalu) yang dikendalikan oleh mosalaki pu’u.
Podo Rawu tersebut diisi tuak oleh ana weta dan ebu ta’u lalu diputar lima kali ke arah kiri oleh mosalaki pu’u. Setelah putar lima kali, mosalaki menuangkan tuak yang ada di podo ke tanah sambil berkata:
Uza mai, wae pare, reti wete, pesa reke manu
Artinya : memanggil hujan agar padi bisa tumbuh subur.
Ketujuh, Gae Pare. Ana weta mulai cari bibit pare atau bibit padi sambil jalan keliling ebu ta’u yang duduk berhadapan dengan mosalaki pu’u. Ebu ta’u mulai menanyakan: miu gae apa? (kamu cari apa?) Jawab ana weta: kami gae pare (kami cari padi). Jawab ebu ta’u: ngaza miu gae pare, dheo ebu rumi le dia (kalau kamu cari padi bawa ebu rumi ke mari).
Ebu Rumi adalah telur ayam yang menyimbolkan benih padi. Ana weta mulai menyerahkan telur ayam kepada ebu ta’u dan diletakan di antara batu yang diduduki oleh ebu ta’u. Ana weta menuju ke arah telur tersebut lalu menginjak sampai telur itu pecah. Isi telur tersebut melambangkan benih padi yang siap untuk ditanam.
Ritual gua ru tersebut dilanjutkan makan bersama atau nalo. Masing-masing ruba mengantarkan makanan (nasi) dan daging babi kepada mosalaki pu’u, ana weta dan ebu ta’u untuk nalo.
Anak perempuan dari masing-masing ruba mulai nalo bersama namun dilakukan di rubanya masing-masing, tidak bersamaan dengan mosalaki pu’u, ana weta dan ebu ta’u. Makna dari nalo tersebut adalah mengucap syukur kepada atasannya (leluhur) yang telah memberikan hujan dan benih padi.
Semua perempuan mulai meninggalkan Kuka. Pihak laki-laki mulai nalo bersama secara keseluruhan. Namun, sebelumnya masing-masing ruba mulai mengantar makanan (nasi) dan daging babi secara bergantian antara ruba yang satu dan ruba yang lain. Maksudnya, untuk mengenal pihak keluarga antara pihak ana weta, ame nara dan ebu ta’u. Jika ame nara mengantar nasi ke ebu ta’u atau ana weta, maka mereka membalasnya dengan daging babi. Begitu pula sebaliknya.
Gedho Ata Ga’e
Gedho ata ga’e dilakukan setelah beberapa tahap ritual selesai. Tahap ini, masing-masing suku membawa ayam, nasi di periuk tanah (podo awu) dan isi pase (kayu berbentuk isi tombak) dari sa’o.
Setelah tiba di Kuka, setiap ruba sudah menyiapkan sora pase untuk melakukan ritual. Sora dipotong dua ruas bagian pangkal lalu masukan isi pase pada ruas sora. Sora didirikan di atas batu depan ruba lalu potongan sora (bambu) tadi ditanam dan diikat bersama sora. Masing-masing ruba pastikan bahwa sora tersebut berdiri kuat agar tidak mudah tumbang.
Setelah itu, salah satu anggota suku (laki-laki) memegang kepala ayam lalu memukul kepala ayam hingga mati. Darah ayam membasahi sora, isi pase, sobha mata leza (bere), wea (emas), beka feka (bere kecil) dan gebe atau kalung emas.
Ayam tersebut dibakar di masing-masing ruba lalu melihat petunjuk isi perut tentang hasil panen. Kalau ada sesuatu hal yang aneh di isi perut ayang—hati dan usus–biasanya membawa dampak buruk bagi hasil panen musim mendatang.
Setelah itu semua kepala suku melakukan tarian (teke). Teke ini adalah tarian melingkar seperti gawi. Dalam teke ada sadho oleh seorang ketua suku yang ditentukan. Sadho itu adalah syair lagu untuk memanggil hujan. Tarian teke ini berlangsung lama sebab ada banyak syair beruntun yang harus diucapkan satu-persatu.
Setelah tarian teke, dilanjutkan dengan makan bersama atau nalo. Namun, sebelumnya masing-masing ruba menghantar makanan dan daging kepada ruba yang lain untuk mengenal keluarga (ana weta, ebu ta,u dan ame nara ) seperti tahap sebelumnya.
Selanjutnya dilakukan teke secara bersama-sama di Ola Lape. Tarian teke ini untuk memanggil air hujan agar membasahi tanah sehingga tanaman padi mereka bisa bertumbuh subur dan membawa hasil berlimpah.(*)
Penulis : Ian Bala
Editor: EC. Pudjiachirusanto
RITUAL adat gua ru biasanya dilakukan sebelum musim hujan tiba. Semua anggota suku, atau lazim disebut woe, wajib mengikuti semua rangkaian ritual adat gua ru di Ola Lape atau kampung adat Lape. Ola Lape adalah tempat utama dalam setiap rangkaian ritual adat, di mana terdapat rumah adat dari masing-masing suku atau woe.
Satu minggu sebelumnya, ketua suku–pemangku adat pada ritual gua ru yang sudah ditentukan–menyampaikan bahwa akan diadakan ritual tersebut kepada setiap anggota suku atau woe pada masing-masing rumah adat. Sehingga masing-masing anggota suku mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan selama proses ritual gua ru.
Gua ru kali ini akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Satu hari sebelumnya, semua anggota suku sudah berada di Ola Lape untuk menyiapkan beberapa bahan seperti kayu api, tempat ritual, dan beberapa persiapan di rumah adat (sa’o) masing-masing.
Setiap anggota suku atau woe yang hendak mengikuti perayaan adat ini, wajib membawa ayam kampung sebagai persembahan kepada leluhur suku Lape. Dahulu sebelum agama-agama dari ‘tanah seberang’ memasuki Ola Lape, kepercayaan rakyat Lape berpegang teguh pada tradisi warisan leluhur ini.
Mosalaki utama sedang melakukan ritual esu podo rawu, salah satu tahapan prosesi gua ru. (Foto: FBC/Ian Bala)
Tahap Ritual
Ada beberapa tahap ritual gua ru suku Lape. Di antaranya, pertama: Pogo Sora Pase atau tahap potong bambu (aur untuk sora), potong kayu untuk api unggun, dan potong bilah bambu untuk api penyuluh. Tahap ini dilakukan pada hari sebelum melakukan ritual utama gua ru. Meskipun masih tahap persiapan, menurut rangkaian ritual gua ru termasuk dalam rangkaian secara keseluruhan.
Kedua, Relo Sora Pase. Tahap ini adalah ketika ketua suku masing-masing sa’o (rumah adat) menyalakan api pada bilah bambu dari lika lapu atau dapur dalam rumah adat lalu dipanaskan pada aur (sora) yang disimpan di depan sa’o. Tahap ini bermaksud supaya tanaman (padi) bertumbuh subur dan membawa hasil yang baik.
Ketiga, Zago Podo. Artinya gladi resik untuk ritual esok harinya. Zago Podo ini dilakukan di Sa’o Waja Kebe Riwu atau di rumah adat utama seorang kepala suku sebagai pemandu ritual berikutnya. Pada intinya, tahap ini untuk melatih ritual yang akan terjadi pada hari berikutnya, sehingga tidak terjadi kesalahan. Jika terjadi kesalahan akan berakibat fatal bahkan dapat menelan korban jiwa seluruh anggota suku yang terlibat dalam ritual itu. Tahap ini diikuti semua ketua suku dari masing-masing sa’o. Ketiga tahap ini, dilakukan pada malam pertama di Ola Lape.
Keempat, Kema Ruba. Tahap ini dilakukan pada hari kedua. Semua anggota suku–khusus laki-laki–membuat ruba atau tenda untuk tempat berteduh saat ritual berlangsung. Pembuatan ruba dilakukan di Kuka (kampung pertama Lape) sekitar satu kilometer dari sa’o. Kuka adalah nama tempat di mana ritual gua ru dipusatkan.
Setiap sa’o memiliki satu ruba. Ukuran ruba sesuai dengan keinginan anggota suku, namun tidak lebih besar dengan ruba utama sebagai pusat ritual. Di dalam ruba terdapat tiga buah batu untuk tempat duduk saat anggota suku istirahat. Batu tersebut ditanam berjejeran.
Kayu-kayu api yang sudah disiapkan pada tahap pertama, disusun ditempat api unggun, berdekatan dengan ruba. Kayu-kayu tersebut akan dibakar selama proses ritual dan tidak boleh padam. Jika api di salah satu ruba padam, maka seluruh anggota suku dalam ruba tersebut akan meninggal dunia. Begitu mitos yang dipercayai suku Lape ini. Setiap ruba bersama-sama mengerjakan ruba utama
Masing-masing ruba sedang mengambil api di api unggun utama. Sepanjang ritual api harus menyala terus. (Foto: FBC/Ian Bala)
Zele ulu lau eko, pipi zili ghoe lau
Ni kita gedho ana kedhi
Artinya : orang di atas, di bawah dan sebelah kiri dan kanan. Kita mau keluar menuju Kuka.
Mosalaki bersama pemangku adat lainnya melakukan arak-arakan menuju Kuka. Perarakan tersebut secara berurutan sesuai dengan sa’o adat mulai dari Pemangku adat (mosalaki), suku Nakanawe, Roga Wawo, Roga Au, Naka Zeta Wawo, Naka Zale Au, Woe Renge dan terakhir suku Ko.
Semua anggota suku mulai dari anak-anak sampai orang dewasa menuju Kuka untuk mengikuti ritual gua ru. Masing-masing rumah adat membawa serta sora pase.
Mosalaki yang menjadi pemandu rituan gua ru mulai memasang api di panggung utama yang dinamakan Rada Garo–tempat api unggun utama–. Api yang sudah dipasang tidak boleh padam selama masih ritual gua ru. Masing-masing ruba bertanggung jawab atas api unggun utama. Selalu menghidupkan api unggun utama, jika api padam menurut kepercayaan suku Lape, seluruh anggota suku yang terlibat dalam ritual tersebut akan meninggal dunia.
Setiap ruba mulai memasang api di Rada Garo sesuai dengan urutan perarakan sebelumnya. Api tersebut kemudian dipasang di ruba masing-masing yang sudah disiapkan sebelumnya. Setiap ruba terus memastikan api di masing-masing ruba dan di Rada Garo agar tidak padam.
Keenam, Esu Podo Rawu. Sebelum melakukan esu podo rawu, para mosalaki mencari dua ana weta (pihak perempuan atau saudari) dan dua ebu ta’u (pihak Om atau paman) yang diwakili anak-anak. Ana weta dan ebu ta’u ini bertujuan untuk memberikan makanan dan moke atau tuak. Tuak tersebut dituangkan di dalam podo rawu (periuk tanah dari puluhan abad yang lalu) yang dikendalikan oleh mosalaki pu’u.
Podo Rawu tersebut diisi tuak oleh ana weta dan ebu ta’u lalu diputar lima kali ke arah kiri oleh mosalaki pu’u. Setelah putar lima kali, mosalaki menuangkan tuak yang ada di podo ke tanah sambil berkata:
Uza mai, wae pare, reti wete, pesa reke manu
Artinya : memanggil hujan agar padi bisa tumbuh subur.
Ketujuh, Gae Pare. Ana weta mulai cari bibit pare atau bibit padi sambil jalan keliling ebu ta’u yang duduk berhadapan dengan mosalaki pu’u. Ebu ta’u mulai menanyakan: miu gae apa? (kamu cari apa?) Jawab ana weta: kami gae pare (kami cari padi). Jawab ebu ta’u: ngaza miu gae pare, dheo ebu rumi le dia (kalau kamu cari padi bawa ebu rumi ke mari).
Ebu Rumi adalah telur ayam yang menyimbolkan benih padi. Ana weta mulai menyerahkan telur ayam kepada ebu ta’u dan diletakan di antara batu yang diduduki oleh ebu ta’u. Ana weta menuju ke arah telur tersebut lalu menginjak sampai telur itu pecah. Isi telur tersebut melambangkan benih padi yang siap untuk ditanam.
Ritual gua ru tersebut dilanjutkan makan bersama atau nalo. Masing-masing ruba mengantarkan makanan (nasi) dan daging babi kepada mosalaki pu’u, ana weta dan ebu ta’u untuk nalo.
Anak perempuan dari masing-masing ruba mulai nalo bersama namun dilakukan di rubanya masing-masing, tidak bersamaan dengan mosalaki pu’u, ana weta dan ebu ta’u. Makna dari nalo tersebut adalah mengucap syukur kepada atasannya (leluhur) yang telah memberikan hujan dan benih padi.
Semua perempuan mulai meninggalkan Kuka. Pihak laki-laki mulai nalo bersama secara keseluruhan. Namun, sebelumnya masing-masing ruba mulai mengantar makanan (nasi) dan daging babi secara bergantian antara ruba yang satu dan ruba yang lain. Maksudnya, untuk mengenal pihak keluarga antara pihak ana weta, ame nara dan ebu ta’u. Jika ame nara mengantar nasi ke ebu ta’u atau ana weta, maka mereka membalasnya dengan daging babi. Begitu pula sebaliknya.
Gedho Ata Ga’e
Gedho ata ga’e dilakukan setelah beberapa tahap ritual selesai. Tahap ini, masing-masing suku membawa ayam, nasi di periuk tanah (podo awu) dan isi pase (kayu berbentuk isi tombak) dari sa’o.
Setelah tiba di Kuka, setiap ruba sudah menyiapkan sora pase untuk melakukan ritual. Sora dipotong dua ruas bagian pangkal lalu masukan isi pase pada ruas sora. Sora didirikan di atas batu depan ruba lalu potongan sora (bambu) tadi ditanam dan diikat bersama sora. Masing-masing ruba pastikan bahwa sora tersebut berdiri kuat agar tidak mudah tumbang.
Setelah itu, salah satu anggota suku (laki-laki) memegang kepala ayam lalu memukul kepala ayam hingga mati. Darah ayam membasahi sora, isi pase, sobha mata leza (bere), wea (emas), beka feka (bere kecil) dan gebe atau kalung emas.
Ayam tersebut dibakar di masing-masing ruba lalu melihat petunjuk isi perut tentang hasil panen. Kalau ada sesuatu hal yang aneh di isi perut ayang—hati dan usus–biasanya membawa dampak buruk bagi hasil panen musim mendatang.
Setelah itu semua kepala suku melakukan tarian (teke). Teke ini adalah tarian melingkar seperti gawi. Dalam teke ada sadho oleh seorang ketua suku yang ditentukan. Sadho itu adalah syair lagu untuk memanggil hujan. Tarian teke ini berlangsung lama sebab ada banyak syair beruntun yang harus diucapkan satu-persatu.
Setelah tarian teke, dilanjutkan dengan makan bersama atau nalo. Namun, sebelumnya masing-masing ruba menghantar makanan dan daging kepada ruba yang lain untuk mengenal keluarga (ana weta, ebu ta,u dan ame nara ) seperti tahap sebelumnya.
Selanjutnya dilakukan teke secara bersama-sama di Ola Lape. Tarian teke ini untuk memanggil air hujan agar membasahi tanah sehingga tanaman padi mereka bisa bertumbuh subur dan membawa hasil berlimpah.(*)
Penulis : Ian Bala
Editor: EC. Pudjiachirusanto