Persamaan Lamaholot dengan Budaya Manggarai
Ata (Lamaholot) = orang (?)
Ite (Lamaholot) = kita (?)
https://www.youtube.com/watch?v=tOTJpz0fg7Y
Budaya Lamaholot bisa dilihat dalam situs berikut:
https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4972/3394
Memberi makan nenek moyang = .......(teing hang - Manggarai).
JPS, 2 Juni 2022
Kisah ini merupakan mitos asal usul suku Lamaholot
Suku-suku Lamaholot lahir dari Wato Wele - Lia Nurat ini
Wato Wele - Nia Nurat hidup di Gunung (Ile) Mandiri.
Mereka merupakan kembaran yang lahir dari telur burung elang.
Mereka punya kepandian untuk membuat api.
Menurut mitos ini, manusia lahir dari dari berbagai hal, benda bergerak dan tak bergerak
Benda bergerak dan tak bergerak
- Burung elang dan telurnya. Wato Wele - Lia Nurat merupakan kembaran yang menetas dari telur elang
- Babi : orang Maluku menghadiahkan 2 babi kepada leluhur Lamaholot, lalu babi itu menjadi manusia, laki-laki dan wanita. (Mungkin ini alasan mengapa babi begitu dekat dengan kehidupan orang Flores)
- Manusia hutan yang berbulu yang ternyata wanita cantik (Wato Wele)
- Batu : ada batu yang menjadi manusia.
Wato wele - (perempuan) - bersaudara dengan Pati Golo (laki). Suatu saat mereka berpisah. Lalu mereka bertemu lagi, lalu menikah. Tapi mereka tak tahu bahwa mereka bersaudara. Suatu hari Wato Wele mencari kutu pada kepala suaminya (Pati Golo). Dia mendapati luka pada kepala suaminya. Dia teringat luka pada kepala adiknya. Pada masa lalu Wato Wele memukul adiknya dengan kayu (.....) hingga ada bekas luka (codet) di kepalanya, hanya karena adiknya tak memberikan tuak (moke) kepadanya.
Ketika melihat bekas luka pada kepala suaminya saat mencari kutu Wato Wele sadar dan curiga jangan-jangan suaminya adalah adiknya. Jadi mereka merupakan kakak dan adik (suadaa-saudari) hal mana sesuatu yang tabu bila melangsungkan perkawinan. Jadi di sini terjadi perkawinan sumbang (incest).
Watu Wele punya hubungan dengan penguasa dan rakyat Timor.
Sumber: Kisah Wato Wele - Lia Nurat oleh Yoseph Yapi Taum (edisi internet: http://floressastra.com/2016/03/02/kisah-wato-wele-lia-nurat-dalam-tradisi-puisi-lisan-flores-timur-yoseph-yapi-taum/)
JPS 22 Maret 2017.
Doa adat saat panen:
Bapa Lera Wulan lodo hau Bapak Lera Wulan turunlah ke sini
Ema
Tanah Ekan gere haka Ibu
Tanah Ekan bangkitlah ke sini
Tobo
tukan Duduklah
di tengah
Pae
bawan Hadirlah
di antara kami
Ola
di ehin kae (Karena)
kerja ladang sudah berbuah
Here
di wain kae (Karena)
menyadap tuak sudah berhasil
Goong
molo Makanlah
terlebih dahulu
Menu
wahan Minumlah
mendahului kami
Nein
kame mekan Barulah
kami makan
Dore
menu urin Barulah
kami minum kemudian
http://adonarakayan.blogspot.co.id/2013/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html
JPS, 29 Maret 2017
Berita Flores Timur
Rumah Adat Korke Bale
Bermuaranya Suku-suku di Riangkemie
Sebagai penanda eksistensi komunitas suku-suku,
korke bale menjadi tempat bermusyawarah anak suku di Desa Riangkemie
untuk menyelesaikan sengketa, dan merancang masa depan
BAGI masyarakat Lamaholot–sebutan bagi suku-suku di Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan Solor–, rumah adat (korke) penting sebagai penanda eksistensi sebuah suku atau komunitas suku di sebuah wilayah. Salah satu komunitas suku yang ada di Kabupaten Flores Timur berada di Desa Riangkemie, Kecamatan Ile Mandiri.
Rumah adat atau dalam bahasa Lamaholot disebut korkē berbentuk rumah panggung tanpa dinding yang ditopang dengan delapan buah tiang utama. Rumah adat ini dibangun melalui proses panjang dengan serangkaian ritual dimulai dari pemilihan bahan dan penebangan pohon sampai rumah adat tersebut selesai dikerjakan.
Pengerjaan bangunan rumah adat dilaksanakan pada siang hari dan di malam harinya masyarakat menjaganya sambil menari dan bernyanyi, mengisahkan asal usul dan berbagi kisah mitologi. Kegiatan ini berlangsung terus menerus sampai proses pengerjaan rumah adat selesai.
Korkē biasanya didirikan di tengah-tengah kampung dan dikelilingi rumah-rumah adat dari suku yang berperan dalam wilayah tersebut. Rumah adat korkē merupakan bangunan yang sangat penting dan sangat disakralkan oleh masyarakat suku yang memilikinya.
Riangkamie
Desa Riangkemie yang dikenal masih memiliki tradisi ritual adat, berjarak sekitar 20 kilometer dari kota Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur. Menempuh perjalanan ke arah Barat kota Larantuka hingga pertigaan jalan seberang jembatan Oka kita akan berbelok ke Utara menyusuri jalan aspal dengan kondisi jalan yang sebagiannya masih berlubang sana-sini. Rumah adat yang dinamakan korke bale berada di tengah kampung persis di belakang poliklinik Desa Riangkemie.
Kepala Desa Riangkemie, Thomas Iryanto Lewar menceritakan kepada saya bahwa, korke bale dikenal juga dengan nama Si Ola, karena bapak Si Ola adalah orang yang membawa tempat ini dalam bentuk jadi dari suatu tempat yang dinamakan Wulan.
Menurut Thomas, pekerjaan pembuatan koke bale penuh aroma mistik. Si Ola diharuskan membangun koke bale dalam waktu empat hari. Pekerjaan ini harus dilakukan untuk memenuhi permintaan Raja Lagadoni yang anaknya ingin dinikahinya.
“ Si Ola mampu menjawab tantangan raja membangun koke bale dalam waktu hanya empat hari. Semua ini dilakukan dengan dibantu kekuatan gaib sehingga koke ini merupakan hasil dari kerja tangan gaib termasuk motif Si Ola yang cuma ada di daerah sini. Dia harus membangun ini karena cinta dengan anaknya Raja Lagadoni, “ ujar Kades Thomas.
Koke bale yang ada sekarang, kata Thomas lagi, dibangun tahun 1913 saat warga Desa Riangkamie pindah ke lokasi yang sekarang. Sebelumnya, kampung lama berada di atas gunung dan masyarakat pindah ke tempat sekarang yang berada di bawah, setelah jalan dibuka oleh pemerintah kolonial Belanda.
Koke dipakai sebagai tempat bertemunya semua anak suku untuk baung boting atau musyawarah dalam merencanakan sesuatu seperti membuka kebun atau lainnya. Di bawah koke bale terdapat halaman yang dipakai selain untuk berkumpul juga menari dolo-dolo.
Diukir Rayap
Dikisahkan Ino Lian seorang kepala dusun yang ikut mendampingi Kades Thomas, tahap pertama membuat koke bale dilakukan dengan menyiapkan tiang atau rie oleh suku-suku yang ada di desa. Ada delapan tiang utama yang melambangkan delapan suku yang ada, dan berperan di desa ini yakni Koten, Kelen, Hurit, Maran, Mukin, Molan, Lian dan Beguir. Dikatakan Yoseph, suku yang sudah menyatu di dalam ini seperti Lewar, Welan, Kelen Nara Ebang, Blemang dan Weking dilibatkan.
Tiang bagian kanan, kata Ino, berasal dari kayu khusus yakni kayu kepapa yang disiapkan suku Koten. Semua kayu dan peralatan yang dipakai membangun korke bale dibawa masuk ke desa dengan menggelar ritual adat terlebih dahulu.
“Kita semua menyiapkan atap yang namanya nuki yang berasal dari daun lontar, sementara bambu disiapkan secara gotong royong. Jika semuanya lengkap pada saat pembuatan, tiap malam harus ada yang jaga sampai pekerjaan selesai. Suku Molan Lango Biri yang membangun korke ini. Ukiran di tiang ini mereka yang ukir sebab mereka ketutunan dari Si Ola, “ jelasnya.
Ukiran di tiang namanya kenire Si Ola atau motif Si Ola. Di Flores ukiran motif ini hanya ada di rumah adat korke bale. Ukiran ini, kata Ino, tidak dihasilkan oleh tangan manusia tapi dibentuk oleh rayap dan ukiran ini hanya bisa dilakukan oleh keturunan dari Si Ola.
Ukiran di korke bale yang ada sekarang ini, tambah Ino, diukir oleh seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar tanpa belajar terlebih dahulu. Karena dia turunan dari Si Ola maka dengan sendirinya bisa melakukan itu.
Meterai di Dahi
Setelah pekerjaan pembangunan koke bale selesai, tutur Thomas, saat upacara seremonialnya semua suku-suku diundang termasuk suku yang punya hubungan dengan desa ini tapi yang berada di luar desa. Raja dari Larantuka juga diundang.
“Sebelum dibuat ritual adat di koke bale, dibuat dulu adat di pinggir kampung yang disebut blakun. Upacara dilakukan dengan membuat sebuah sesajen sebagai isyarat kepada roh-roh jahat di mana mereka sudah kita berikan bagiannya berupa makanan sehingga mereka tidak masuk kampung lagi. Juga kita berikan keberanian kepada panglima perang waktu itu (zaman dahulu) dengan memberikan makan secara khusus,”sambung Thomas yang beribukan perempuan asal Pulau Semau, Kabupaten Kupang.
Setelah itu, urai Thomas, seremonial lanjutan digelar dengan menyembelih hewan korban. Ada beberapa pihak, dimulai oleh pihak pertama belake setelah itu pihak kedua Opu dan pihak ketiga Ema Bapa. Dan juga penghargaan khusus kepada raja yang datang.
Saat seremonial adat, ungkapnya, tokoh-tokoh adat akan makan sirih pinang bersama kemiri dan air liur mereka ditampung. Setiap orang yang ada di desa diberi tanda atau dimeteraikan (nilu) di dahi dan leher memakai tampungan air liur tersebut sebagai tanda kita diberikan kekuatan untuk menghindarkan diri dari penyakit dan gangguan lainnya. (*)
Penulis: Ebed de Rosary
Editor: EC. Pudjiachirusanto
BAGI masyarakat Lamaholot–sebutan bagi suku-suku di Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan Solor–, rumah adat (korke) penting sebagai penanda eksistensi sebuah suku atau komunitas suku di sebuah wilayah. Salah satu komunitas suku yang ada di Kabupaten Flores Timur berada di Desa Riangkemie, Kecamatan Ile Mandiri.
Rumah adat atau dalam bahasa Lamaholot disebut korkē berbentuk rumah panggung tanpa dinding yang ditopang dengan delapan buah tiang utama. Rumah adat ini dibangun melalui proses panjang dengan serangkaian ritual dimulai dari pemilihan bahan dan penebangan pohon sampai rumah adat tersebut selesai dikerjakan.
Pengerjaan bangunan rumah adat dilaksanakan pada siang hari dan di malam harinya masyarakat menjaganya sambil menari dan bernyanyi, mengisahkan asal usul dan berbagi kisah mitologi. Kegiatan ini berlangsung terus menerus sampai proses pengerjaan rumah adat selesai.
Korkē biasanya didirikan di tengah-tengah kampung dan dikelilingi rumah-rumah adat dari suku yang berperan dalam wilayah tersebut. Rumah adat korkē merupakan bangunan yang sangat penting dan sangat disakralkan oleh masyarakat suku yang memilikinya.
Riangkamie
Desa Riangkemie yang dikenal masih memiliki tradisi ritual adat, berjarak sekitar 20 kilometer dari kota Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur. Menempuh perjalanan ke arah Barat kota Larantuka hingga pertigaan jalan seberang jembatan Oka kita akan berbelok ke Utara menyusuri jalan aspal dengan kondisi jalan yang sebagiannya masih berlubang sana-sini. Rumah adat yang dinamakan korke bale berada di tengah kampung persis di belakang poliklinik Desa Riangkemie.
Kepala Desa Riangkemie, Thomas Iryanto Lewar menceritakan kepada saya bahwa, korke bale dikenal juga dengan nama Si Ola, karena bapak Si Ola adalah orang yang membawa tempat ini dalam bentuk jadi dari suatu tempat yang dinamakan Wulan.
Menurut Thomas, pekerjaan pembuatan koke bale penuh aroma mistik. Si Ola diharuskan membangun koke bale dalam waktu empat hari. Pekerjaan ini harus dilakukan untuk memenuhi permintaan Raja Lagadoni yang anaknya ingin dinikahinya.
“ Si Ola mampu menjawab tantangan raja membangun koke bale dalam waktu hanya empat hari. Semua ini dilakukan dengan dibantu kekuatan gaib sehingga koke ini merupakan hasil dari kerja tangan gaib termasuk motif Si Ola yang cuma ada di daerah sini. Dia harus membangun ini karena cinta dengan anaknya Raja Lagadoni, “ ujar Kades Thomas.
Koke bale yang ada sekarang, kata Thomas lagi, dibangun tahun 1913 saat warga Desa Riangkamie pindah ke lokasi yang sekarang. Sebelumnya, kampung lama berada di atas gunung dan masyarakat pindah ke tempat sekarang yang berada di bawah, setelah jalan dibuka oleh pemerintah kolonial Belanda.
Koke dipakai sebagai tempat bertemunya semua anak suku untuk baung boting atau musyawarah dalam merencanakan sesuatu seperti membuka kebun atau lainnya. Di bawah koke bale terdapat halaman yang dipakai selain untuk berkumpul juga menari dolo-dolo.
Diukir Rayap
Dikisahkan Ino Lian seorang kepala dusun yang ikut mendampingi Kades Thomas, tahap pertama membuat koke bale dilakukan dengan menyiapkan tiang atau rie oleh suku-suku yang ada di desa. Ada delapan tiang utama yang melambangkan delapan suku yang ada, dan berperan di desa ini yakni Koten, Kelen, Hurit, Maran, Mukin, Molan, Lian dan Beguir. Dikatakan Yoseph, suku yang sudah menyatu di dalam ini seperti Lewar, Welan, Kelen Nara Ebang, Blemang dan Weking dilibatkan.
Tiang bagian kanan, kata Ino, berasal dari kayu khusus yakni kayu kepapa yang disiapkan suku Koten. Semua kayu dan peralatan yang dipakai membangun korke bale dibawa masuk ke desa dengan menggelar ritual adat terlebih dahulu.
“Kita semua menyiapkan atap yang namanya nuki yang berasal dari daun lontar, sementara bambu disiapkan secara gotong royong. Jika semuanya lengkap pada saat pembuatan, tiap malam harus ada yang jaga sampai pekerjaan selesai. Suku Molan Lango Biri yang membangun korke ini. Ukiran di tiang ini mereka yang ukir sebab mereka ketutunan dari Si Ola, “ jelasnya.
Ukiran di tiang namanya kenire Si Ola atau motif Si Ola. Di Flores ukiran motif ini hanya ada di rumah adat korke bale. Ukiran ini, kata Ino, tidak dihasilkan oleh tangan manusia tapi dibentuk oleh rayap dan ukiran ini hanya bisa dilakukan oleh keturunan dari Si Ola.
Ukiran di korke bale yang ada sekarang ini, tambah Ino, diukir oleh seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar tanpa belajar terlebih dahulu. Karena dia turunan dari Si Ola maka dengan sendirinya bisa melakukan itu.
Meterai di Dahi
Setelah pekerjaan pembangunan koke bale selesai, tutur Thomas, saat upacara seremonialnya semua suku-suku diundang termasuk suku yang punya hubungan dengan desa ini tapi yang berada di luar desa. Raja dari Larantuka juga diundang.
“Sebelum dibuat ritual adat di koke bale, dibuat dulu adat di pinggir kampung yang disebut blakun. Upacara dilakukan dengan membuat sebuah sesajen sebagai isyarat kepada roh-roh jahat di mana mereka sudah kita berikan bagiannya berupa makanan sehingga mereka tidak masuk kampung lagi. Juga kita berikan keberanian kepada panglima perang waktu itu (zaman dahulu) dengan memberikan makan secara khusus,”sambung Thomas yang beribukan perempuan asal Pulau Semau, Kabupaten Kupang.
Setelah itu, urai Thomas, seremonial lanjutan digelar dengan menyembelih hewan korban. Ada beberapa pihak, dimulai oleh pihak pertama belake setelah itu pihak kedua Opu dan pihak ketiga Ema Bapa. Dan juga penghargaan khusus kepada raja yang datang.
Saat seremonial adat, ungkapnya, tokoh-tokoh adat akan makan sirih pinang bersama kemiri dan air liur mereka ditampung. Setiap orang yang ada di desa diberi tanda atau dimeteraikan (nilu) di dahi dan leher memakai tampungan air liur tersebut sebagai tanda kita diberikan kekuatan untuk menghindarkan diri dari penyakit dan gangguan lainnya. (*)
Penulis: Ebed de Rosary
Editor: EC. Pudjiachirusanto
Suku Welan Gelar 'Reka Ahink'
Usir Roh Jahat Kambing pun Disembelih
Reka ahink merupakan ritual adat yang digelar
sebagai bentuk penghargaan kepada roh jahat dengan memberi sesajen
berupa penyembelihan seekor kambing di ujung kampung. Dengan begitu, roh
jahat pun tidak masuk ke kampung lagi
WARGA Desa Riangkamie, Kecamatan Ile Mandiri, Kabupaten Flores Timur siang itu terlihat sangat sibuk. Sejak pagi hari warga suku Welan dan semua suku yang tergabung dalam rumah adat yakni Koten, Kelen, Hurit dan Maran mulai menyiapkan diri menggelar ritual adat reka ahink.
Upacara adat reka ahink dilakukan dalam suatu rangkaian kegiatan pembangunan rumah adat (korke) suku Welan. Kepala Desa Riangkamie,Thomas Iryanto Lewar, di balai desa Riangkamie mengatakan, upacara adat yang berlangsung di ujung kampung tersebut melibatkan semua suku mulai dari Welan, Molan, Weking, Maran, hingga suku Kelen Nara Eban.

Dikisahkan Thomas, upacara adat dibuka dengan pembacaan doa dan
mantra dalam bahasa adat oleh Simon Pati tokoh adat suku tersebut
sementara para tetua adat suku lainnya duduk membentuk lingkaran.
Setelah itu, seekor kambing yang akan disembelih dibawa ke tengah
lingkaran. Perwakilan dari suku yang memegang peran Koten, Kelen, Hurit
dan Maran pun maju dan melaksanakan tugasnya.
Dalam setiap ritual adat penyembelihan hewan korban, jelas Thomas, suku Koten bertugas memegang kepala, Kelen memegang ekor, Hurit menyembelih korban sementara Maran bertugas membaca mantra.
Kambing yang disembelih dimasak dan dimakan sampai habis di lokasi upacara dan tidak boleh dibawa pulang. Setiap orang yang berada di lokasi upacara wajib makan bersama.
Selepas hewan korban disembelih, lanjut Thomas, para tetua adat membaca doa dan mantra dan mengunyah sirih pinang bersama kemiri. Air liurnya ditampung di tempurung kelapa dan dipakai untuk memberi tanda atau memateraikan setiap orang yang hadir dalam upacara tersebut.
“ Saat seremonial adat, tokoh-tokoh adat akan makan sirih pinang dan kemiri dan hasil air liurnya ditampung. Setelah itu setiap orang yang hadir diberi tanda atau diistilahkan dengan dimaterai pada dahi dan leher memakai tampungan air liur tadi,”kata Thomas.
Kades yang ibunya berasal dari Pulau Semau ini menerangkan, materai yang dilakukan di dahi sebagai tanda bahwa orang diberikan kekuatan agar terhindar dari penyakit dan gangguan lainnya.
Tokoh adat suku Welan, Simon Pati menambahkan, upacara adat ini bagian tak terpisahkan dari pembangunan rumah adat suku Welan. Rangkaian upacara adat ini melibatkan semua suku yang tergabung dalam rumah adat di Riangkamie.
“ Upacara kami lakukan di ujung kampung dengan memberi sesajen berupa kambing sembelihan. Kami membuat upacara di ujung kampung dengan memberi makan atau memberi bagian kepada roh-roh jahat agar mereka tidak masuk kampung dan mengganggu apa yang akan kami lakukan, karena kami sudah beri mereka makan di tempat ini,“ jelas Simon.
Ritual adat reka ahink ini, tambah Simon, hanya awal dari digelarnya serangkaian ritual adat dimana semua suku dan anak suku terlibat sesuai perannya masing -masing. Upacara adat berlangsung saat awal pembangunan korke hingga berakhirnya proses pembangunannya.
Dikunjungi Wisatawan
Semua ritual adat yang digelar di Desa Riangkamie ini merupakan kekhasan adat dan budaya yang masih dipertahankan. Hampir setiap ada pembangunan atau renovasi rumah adat (korke) selalu digelar ritual adat. Selain itu, seperti dikatakan Kepala Desa Riangkamie Thomas Lewar kepada saya di rumah adat korke bale, di desa ini juga digelar berbagai ritual adat lainnya.
Hal ini membuat Desa Riangkamie sering dikunjungi wisatawan domestik dan wisatawan asing. Selain mengunjungi rumah adat, para wisatawan juga bisa menyaksikan warisan adat budaya lainnya seperti barang-barang di rumah adat misalnya gading pusaka dan aneka barang antik lainnya.
“Kami akan melibatkan pemerintah khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat agar ritual adat ini bisa dipromosikan sebagai objek wisata. Kami juga akan mengundang rekan-rekan media untuk membantu mempromosikan dan mendokumentasikan kekayaan adat dan budaya ini supaya tetap dikenang dan dilestarikan, “ tambah Thomas.
Setiap bulan Oktober, beber Thomas, Desa Riangkamie juga akan menggelar ritual adat secara besar-besaran dengan melibatkan semua suku yang ada di desa ini.
Di Desa Riangkamie menurutnya, terdapat delapan suku yakni Koten, Kelen, Hurit, Maran, Mukin, Molan, Lian dan Beguir. Selain itu juga terdapat suku lainnya yang sudah menyatu di dalam ini seperti suku Lewar,Welan, Kelen Nara Ebang, Blemang serta Weking.
“ Ada satu orang bule bersama isteri yang sering ke sini meliput upacara adat. Kami sudah nobatkan dia menjadi anak suku di sini dengan menggelar ritual adat. Dia bersama isteri juga sudah diberi nama sehingga kami merasa dia sudah menjadi bagian dari keluarga besar suku kami. Pernah dia mau membangun pabrik pengolahan mente di sini bersama mitranya tapi tidak terealisasi. Kalau ada ritual adat besar di desa ini, dia selalu kami undang untuk hadir, “ pungkasnya. (*)
Penulis: Ebed de Rosary
Editor: EC. Pudjiachirusanto
WARGA Desa Riangkamie, Kecamatan Ile Mandiri, Kabupaten Flores Timur siang itu terlihat sangat sibuk. Sejak pagi hari warga suku Welan dan semua suku yang tergabung dalam rumah adat yakni Koten, Kelen, Hurit dan Maran mulai menyiapkan diri menggelar ritual adat reka ahink.
Upacara adat reka ahink dilakukan dalam suatu rangkaian kegiatan pembangunan rumah adat (korke) suku Welan. Kepala Desa Riangkamie,Thomas Iryanto Lewar, di balai desa Riangkamie mengatakan, upacara adat yang berlangsung di ujung kampung tersebut melibatkan semua suku mulai dari Welan, Molan, Weking, Maran, hingga suku Kelen Nara Eban.
Suku
Koten memegang kepala, Kelen memegang ekor, Hurit menyembelih sedangkan
Maran yang membaca mantra saat penyembelihan hewan korban ( Foto:
FBC/Wentho Eliando )
Dalam setiap ritual adat penyembelihan hewan korban, jelas Thomas, suku Koten bertugas memegang kepala, Kelen memegang ekor, Hurit menyembelih korban sementara Maran bertugas membaca mantra.
Kambing yang disembelih dimasak dan dimakan sampai habis di lokasi upacara dan tidak boleh dibawa pulang. Setiap orang yang berada di lokasi upacara wajib makan bersama.
Selepas hewan korban disembelih, lanjut Thomas, para tetua adat membaca doa dan mantra dan mengunyah sirih pinang bersama kemiri. Air liurnya ditampung di tempurung kelapa dan dipakai untuk memberi tanda atau memateraikan setiap orang yang hadir dalam upacara tersebut.
“ Saat seremonial adat, tokoh-tokoh adat akan makan sirih pinang dan kemiri dan hasil air liurnya ditampung. Setelah itu setiap orang yang hadir diberi tanda atau diistilahkan dengan dimaterai pada dahi dan leher memakai tampungan air liur tadi,”kata Thomas.
Kades yang ibunya berasal dari Pulau Semau ini menerangkan, materai yang dilakukan di dahi sebagai tanda bahwa orang diberikan kekuatan agar terhindar dari penyakit dan gangguan lainnya.
Tokoh adat suku Welan, Simon Pati menambahkan, upacara adat ini bagian tak terpisahkan dari pembangunan rumah adat suku Welan. Rangkaian upacara adat ini melibatkan semua suku yang tergabung dalam rumah adat di Riangkamie.
“ Upacara kami lakukan di ujung kampung dengan memberi sesajen berupa kambing sembelihan. Kami membuat upacara di ujung kampung dengan memberi makan atau memberi bagian kepada roh-roh jahat agar mereka tidak masuk kampung dan mengganggu apa yang akan kami lakukan, karena kami sudah beri mereka makan di tempat ini,“ jelas Simon.
Ritual adat reka ahink ini, tambah Simon, hanya awal dari digelarnya serangkaian ritual adat dimana semua suku dan anak suku terlibat sesuai perannya masing -masing. Upacara adat berlangsung saat awal pembangunan korke hingga berakhirnya proses pembangunannya.
Dikunjungi Wisatawan
Semua ritual adat yang digelar di Desa Riangkamie ini merupakan kekhasan adat dan budaya yang masih dipertahankan. Hampir setiap ada pembangunan atau renovasi rumah adat (korke) selalu digelar ritual adat. Selain itu, seperti dikatakan Kepala Desa Riangkamie Thomas Lewar kepada saya di rumah adat korke bale, di desa ini juga digelar berbagai ritual adat lainnya.
Hal ini membuat Desa Riangkamie sering dikunjungi wisatawan domestik dan wisatawan asing. Selain mengunjungi rumah adat, para wisatawan juga bisa menyaksikan warisan adat budaya lainnya seperti barang-barang di rumah adat misalnya gading pusaka dan aneka barang antik lainnya.
“Kami akan melibatkan pemerintah khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat agar ritual adat ini bisa dipromosikan sebagai objek wisata. Kami juga akan mengundang rekan-rekan media untuk membantu mempromosikan dan mendokumentasikan kekayaan adat dan budaya ini supaya tetap dikenang dan dilestarikan, “ tambah Thomas.
Setiap bulan Oktober, beber Thomas, Desa Riangkamie juga akan menggelar ritual adat secara besar-besaran dengan melibatkan semua suku yang ada di desa ini.
Di Desa Riangkamie menurutnya, terdapat delapan suku yakni Koten, Kelen, Hurit, Maran, Mukin, Molan, Lian dan Beguir. Selain itu juga terdapat suku lainnya yang sudah menyatu di dalam ini seperti suku Lewar,Welan, Kelen Nara Ebang, Blemang serta Weking.
“ Ada satu orang bule bersama isteri yang sering ke sini meliput upacara adat. Kami sudah nobatkan dia menjadi anak suku di sini dengan menggelar ritual adat. Dia bersama isteri juga sudah diberi nama sehingga kami merasa dia sudah menjadi bagian dari keluarga besar suku kami. Pernah dia mau membangun pabrik pengolahan mente di sini bersama mitranya tapi tidak terealisasi. Kalau ada ritual adat besar di desa ini, dia selalu kami undang untuk hadir, “ pungkasnya. (*)
Penulis: Ebed de Rosary
Editor: EC. Pudjiachirusanto
________
(https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4972/3394), p. 53.
Belake (Lamaholot?) = Om (Amang = Manggarai(. ?)
Belake adalah status yang
melekat dalam diri anggota suku yang memberikan perempuan
dari sukunya untuk dipinang oleh pihak opu (Tukan &Tukan,1995: 20).
Opu adalah status yang melekat pada diri anggota suku yang meminang seorang perempuan dari suku lain.(Tukan &Tukan,1995: 20).
NB,
Belake (Lamaholot) = Anak Rona dalam Budaya Manggarai = pihak keluarga pemberi perempuan dalam relasi perkawinan.
Opu (Lamaholot) = Anak Wina dalam Budaya Manggarai = pihak keluarga penerima i perempuan dalam relasi perkawinan.
“likat telo” (likat= tungku, telo:tiga) - Lamaholot; dalam B. Manggarai, Likang = tungku, telu = tiga
ewo(kampung).
(https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4972/3394)
*******
lewo = kampung (https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4972/3394), p. 53.
kampung).
___________
https://www.youtube.com/watch?v=YJ_YKeZQlzI
Padre Marco, 17 Tahun Wakili Asia Pasifik di Dewan Kepausan Vatikan Dialog Antar Umat Beragama / 133
Lera wulan (Matahari - Bulan) Ina Tna Ekan (Ibu Bumi)
Teori Teologi Paul Ilich )Teolog Protestan): "Budaya adalah substansi agama"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar