Jumat, 27 Februari 2015

BUDAYA LAMAHOLOT

Persamaan  Lamaholot  dengan Budaya Manggarai

Ata (Lamaholot) = orang (?) 
Ite  (Lamaholot) = kita (?) 

https://www.youtube.com/watch?v=tOTJpz0fg7Y





Budaya Lamaholot  bisa dilihat dalam  situs berikut:
https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4972/3394



Memberi makan nenek moyang = .......(teing hang - Manggarai).
JPS, 2 Juni 2022



Wato Wele - Lia Nurat

Kisah ini merupakan mitos asal usul suku Lamaholot

Suku-suku Lamaholot  lahir dari Wato Wele - Lia Nurat ini
Wato Wele - Nia Nurat hidup di Gunung (Ile) Mandiri.
Mereka  merupakan  kembaran yang lahir dari telur burung elang.
Mereka punya kepandian untuk membuat api.


Menurut  mitos ini, manusia lahir dari dari berbagai hal, benda bergerak dan tak bergerak
Benda bergerak  dan tak bergerak
  1.  Burung elang  dan telurnya. Wato Wele - Lia Nurat  merupakan kembaran yang menetas dari telur elang
  2. Babi : orang Maluku  menghadiahkan 2 babi kepada leluhur Lamaholot, lalu babi itu menjadi manusia, laki-laki dan wanita. (Mungkin ini alasan mengapa babi begitu dekat dengan kehidupan orang Flores)
  3. Manusia hutan yang berbulu  yang ternyata wanita  cantik (Wato Wele)
  4. Batu : ada batu yang menjadi manusia.

Wato wele - (perempuan)  -  bersaudara  dengan  Pati Golo (laki).  Suatu saat mereka berpisah. Lalu mereka bertemu lagi, lalu menikah. Tapi mereka tak tahu bahwa mereka bersaudara. Suatu hari Wato Wele mencari kutu pada kepala suaminya (Pati Golo). Dia mendapati luka pada kepala  suaminya. Dia teringat  luka pada kepala adiknya. Pada masa lalu Wato Wele memukul adiknya dengan kayu (.....) hingga ada bekas luka (codet) di kepalanya, hanya karena adiknya tak memberikan tuak (moke) kepadanya.
Ketika melihat bekas luka pada kepala suaminya saat mencari kutu Wato Wele  sadar  dan curiga jangan-jangan suaminya adalah adiknya. Jadi mereka merupakan kakak  dan adik (suadaa-saudari) hal mana sesuatu yang tabu bila  melangsungkan perkawinan. Jadi di sini terjadi perkawinan sumbang (incest).

Watu Wele  punya hubungan  dengan  penguasa dan rakyat Timor.


Sumber: Kisah Wato Wele - Lia Nurat   oleh  Yoseph Yapi Taum  (edisi internet: http://floressastra.com/2016/03/02/kisah-wato-wele-lia-nurat-dalam-tradisi-puisi-lisan-flores-timur-yoseph-yapi-taum/)

JPS 22 Maret 2017.


Doa  adat saat panen:

Bapa Lera Wulan lodo hau                Bapak Lera Wulan turunlah ke sini
      Ema Tanah Ekan gere haka              Ibu Tanah Ekan bangkitlah ke sini
      Tobo tukan                                         Duduklah di tengah
      Pae bawan                                          Hadirlah di antara kami
      Ola di ehin kae                                    (Karena) kerja ladang sudah berbuah
      Here di wain kae                                (Karena) menyadap tuak sudah berhasil
      Goong molo                                        Makanlah terlebih dahulu
      Menu wahan                                      Minumlah mendahului kami
      Nein kame mekan                              Barulah kami makan
      Dore menu urin                                 Barulah kami minum kemudian

http://adonarakayan.blogspot.co.id/2013/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html

JPS, 29 Maret 2017


Berita  Flores Timur

Rumah Adat Korke Bale

Bermuaranya Suku-suku di Riangkemie

Sebagai penanda eksistensi komunitas suku-suku, korke bale menjadi tempat bermusyawarah anak suku di Desa Riangkemie untuk menyelesaikan sengketa, dan merancang masa depan

BAGI masyarakat Lamaholot–sebutan bagi suku-suku di Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan Solor–, rumah adat (korke) penting sebagai penanda eksistensi sebuah suku atau komunitas suku di sebuah wilayah. Salah satu komunitas suku yang ada di Kabupaten Flores Timur berada di Desa Riangkemie, Kecamatan Ile Mandiri.
Rumah adat atau dalam bahasa Lamaholot disebut korkē berbentuk rumah panggung tanpa dinding yang ditopang dengan delapan buah tiang utama. Rumah adat ini dibangun melalui proses panjang dengan serangkaian ritual dimulai dari pemilihan bahan dan penebangan pohon sampai rumah adat tersebut selesai dikerjakan.
Pengerjaan bangunan rumah adat dilaksanakan pada siang hari dan di malam harinya masyarakat menjaganya sambil menari dan bernyanyi, mengisahkan asal usul dan berbagi kisah mitologi. Kegiatan ini berlangsung terus menerus sampai proses pengerjaan rumah adat selesai.
Korkē biasanya didirikan di tengah-tengah kampung dan dikelilingi rumah-rumah adat dari suku yang berperan dalam wilayah tersebut. Rumah adat korkē merupakan bangunan yang sangat penting dan sangat  disakralkan oleh masyarakat suku yang memilikinya.
Korke bale di Desa Riangkemie, Flores Timur. (Foto: FBC/Ebed de Rosary)
Korke bale di Desa Riangkemie, Flores Timur. (Foto: FBC/Ebed de Rosary)
Riangkamie
Desa Riangkemie yang dikenal masih memiliki tradisi ritual adat,  berjarak sekitar 20 kilometer dari kota Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur. Menempuh perjalanan ke arah Barat kota Larantuka hingga pertigaan jalan seberang jembatan Oka kita akan berbelok ke Utara menyusuri jalan aspal dengan kondisi jalan yang sebagiannya masih berlubang sana-sini.  Rumah adat yang dinamakan korke bale berada di tengah kampung persis di belakang poliklinik Desa Riangkemie.
Kepala Desa Riangkemie, Thomas Iryanto Lewar menceritakan kepada saya bahwa, korke bale dikenal juga dengan nama Si Ola, karena bapak Si Ola adalah orang yang membawa tempat ini dalam bentuk jadi dari suatu tempat  yang dinamakan Wulan.
Menurut Thomas, pekerjaan pembuatan koke bale penuh aroma mistik. Si Ola diharuskan membangun koke bale dalam waktu empat hari. Pekerjaan ini harus dilakukan untuk memenuhi permintaan Raja Lagadoni yang anaknya ingin dinikahinya.
“ Si Ola mampu menjawab tantangan raja membangun koke bale dalam waktu hanya empat hari. Semua ini dilakukan dengan dibantu kekuatan gaib sehingga koke ini merupakan hasil dari kerja tangan gaib termasuk motif Si Ola yang cuma ada di daerah sini. Dia harus membangun ini karena cinta dengan anaknya Raja Lagadoni, “ ujar Kades Thomas.
Koke bale yang ada sekarang, kata Thomas lagi, dibangun tahun 1913 saat warga Desa Riangkamie pindah ke lokasi yang sekarang. Sebelumnya, kampung lama berada di atas gunung dan masyarakat pindah ke tempat sekarang yang berada di bawah, setelah jalan dibuka oleh pemerintah kolonial Belanda.
Koke dipakai sebagai tempat bertemunya semua anak suku untuk baung boting atau musyawarah dalam merencanakan sesuatu seperti membuka kebun atau lainnya. Di bawah koke bale terdapat halaman yang dipakai selain untuk berkumpul juga menari dolo-dolo.
Diukir Rayap
Dikisahkan Ino Lian seorang kepala dusun yang ikut mendampingi Kades Thomas, tahap pertama membuat koke bale dilakukan dengan menyiapkan tiang atau rie oleh suku-suku yang ada di desa. Ada delapan tiang utama yang melambangkan delapan suku yang ada, dan berperan di desa ini yakni Koten, Kelen, Hurit, Maran, Mukin, Molan, Lian dan Beguir. Dikatakan Yoseph, suku yang sudah menyatu di dalam ini seperti Lewar, Welan, Kelen Nara Ebang, Blemang dan Weking dilibatkan.
Tiang bagian kanan, kata Ino, berasal dari kayu khusus yakni kayu kepapa yang disiapkan suku Koten. Semua kayu dan peralatan  yang dipakai membangun korke bale dibawa masuk ke desa dengan menggelar ritual adat terlebih dahulu.
Thomas Iryanto Lewar, Kades Riangkemie di depan koke bale. (Foto : FBC/Ebed de Rosary)
Thomas Iryanto Lewar, Kades Riangkemie di depan koke bale. (Foto : FBC/Ebed de Rosary)
“Kita semua menyiapkan atap yang namanya nuki yang berasal dari daun lontar, sementara bambu disiapkan secara gotong royong. Jika semuanya lengkap pada saat pembuatan, tiap malam harus ada yang jaga sampai pekerjaan selesai. Suku Molan Lango Biri yang membangun korke ini. Ukiran di tiang ini mereka yang ukir sebab mereka ketutunan dari Si Ola, “ jelasnya.
Ukiran di tiang namanya kenire Si Ola atau motif Si Ola. Di Flores ukiran motif ini hanya ada di rumah adat korke bale. Ukiran ini, kata Ino, tidak dihasilkan oleh tangan manusia tapi dibentuk oleh rayap dan ukiran ini hanya bisa dilakukan oleh keturunan dari Si Ola.
Ukiran di korke bale yang ada sekarang ini, tambah Ino, diukir oleh seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar tanpa belajar terlebih dahulu. Karena dia turunan dari Si Ola maka dengan sendirinya bisa melakukan itu.
Meterai di Dahi
Setelah pekerjaan pembangunan koke bale selesai, tutur  Thomas, saat upacara seremonialnya semua suku-suku diundang termasuk suku yang punya hubungan dengan desa ini tapi yang berada di luar desa. Raja dari Larantuka juga diundang.
“Sebelum dibuat ritual adat di koke bale, dibuat dulu adat di pinggir kampung yang disebut blakun. Upacara dilakukan dengan membuat sebuah sesajen sebagai isyarat kepada roh-roh jahat di mana mereka sudah kita berikan bagiannya berupa makanan sehingga mereka tidak masuk kampung lagi. Juga kita berikan keberanian kepada panglima perang waktu itu (zaman dahulu) dengan memberikan makan secara khusus,”sambung Thomas yang beribukan perempuan asal Pulau Semau, Kabupaten Kupang.
Setelah itu, urai Thomas, seremonial lanjutan digelar dengan menyembelih hewan korban. Ada beberapa pihak, dimulai oleh pihak pertama belake setelah itu pihak kedua Opu dan pihak ketiga Ema Bapa. Dan juga penghargaan khusus kepada raja yang datang.
Saat seremonial adat, ungkapnya, tokoh-tokoh adat akan makan sirih pinang bersama kemiri dan air liur mereka ditampung. Setiap orang yang ada di desa diberi tanda atau dimeteraikan (nilu) di dahi dan leher memakai tampungan air liur tersebut sebagai tanda kita diberikan kekuatan untuk menghindarkan diri dari penyakit dan gangguan lainnya. (*)
Penulis: Ebed de Rosary
Editor: EC. Pudjiachirusanto


Suku Welan Gelar 'Reka Ahink'

Usir Roh Jahat Kambing pun Disembelih

Reka ahink merupakan ritual adat yang digelar sebagai bentuk penghargaan kepada roh jahat dengan memberi sesajen berupa penyembelihan seekor kambing di ujung kampung. Dengan begitu, roh jahat pun tidak masuk ke kampung lagi

WARGA Desa Riangkamie, Kecamatan Ile Mandiri, Kabupaten Flores Timur siang itu terlihat sangat sibuk. Sejak pagi hari warga suku Welan dan semua  suku yang tergabung dalam rumah adat yakni Koten, Kelen, Hurit dan Maran mulai menyiapkan diri menggelar ritual adat reka ahink.
Upacara adat reka ahink dilakukan dalam suatu rangkaian kegiatan pembangunan rumah adat (korke) suku Welan. Kepala Desa Riangkamie,Thomas Iryanto Lewar, di balai desa Riangkamie mengatakan, upacara adat yang berlangsung di ujung kampung tersebut melibatkan semua suku mulai dari Welan, Molan, Weking, Maran, hingga suku Kelen Nara Eban.
Suku Koten memegang kepala, Kelen memegang ekor, Hurit menyembelih sedangkan Maran yang membaca mantra saat penyembelihan hewan korban ( Foto: FBC/Wentho Eliando )
Suku Koten memegang kepala, Kelen memegang ekor, Hurit menyembelih sedangkan Maran yang membaca mantra saat penyembelihan hewan korban ( Foto: FBC/Wentho Eliando )
Dikisahkan Thomas, upacara adat dibuka dengan pembacaan doa dan mantra dalam bahasa adat oleh Simon Pati tokoh adat suku tersebut sementara para tetua adat suku lainnya duduk membentuk lingkaran. Setelah itu, seekor kambing yang akan disembelih dibawa ke tengah lingkaran. Perwakilan dari suku yang memegang peran Koten, Kelen, Hurit dan Maran pun maju dan melaksanakan tugasnya.
Dalam setiap ritual adat penyembelihan hewan korban, jelas Thomas, suku Koten bertugas memegang kepala, Kelen memegang ekor, Hurit menyembelih korban sementara Maran bertugas membaca mantra.
Kambing yang disembelih dimasak dan dimakan sampai habis di lokasi upacara dan tidak boleh dibawa pulang. Setiap orang yang berada di lokasi upacara wajib makan bersama.
Selepas hewan korban disembelih, lanjut Thomas, para tetua adat membaca doa dan mantra dan mengunyah sirih pinang bersama kemiri. Air liurnya ditampung di tempurung kelapa dan dipakai untuk memberi tanda atau memateraikan setiap orang yang hadir dalam upacara tersebut.
“ Saat seremonial adat, tokoh-tokoh adat akan makan sirih pinang dan kemiri dan hasil air liurnya ditampung. Setelah itu setiap orang yang hadir diberi tanda atau diistilahkan dengan dimaterai pada dahi dan leher memakai tampungan air liur tadi,”kata Thomas.
Kades yang ibunya berasal dari Pulau Semau ini menerangkan, materai  yang dilakukan di dahi sebagai tanda bahwa orang  diberikan kekuatan agar terhindar dari penyakit dan gangguan lainnya.
Tokoh adat suku Welan, Simon Pati menambahkan, upacara adat ini bagian tak terpisahkan dari pembangunan rumah adat suku Welan. Rangkaian upacara adat ini melibatkan semua suku yang tergabung dalam rumah adat di Riangkamie.
“ Upacara kami lakukan di ujung kampung dengan memberi sesajen berupa kambing sembelihan. Kami membuat upacara di ujung kampung dengan memberi makan atau memberi bagian kepada roh-roh jahat agar mereka tidak masuk kampung dan mengganggu apa yang akan kami lakukan, karena kami sudah beri mereka makan di tempat ini,“ jelas Simon.
Ritual adat reka ahink ini, tambah Simon, hanya awal dari digelarnya serangkaian ritual adat dimana semua suku dan anak suku terlibat sesuai perannya masing -masing. Upacara adat berlangsung saat awal pembangunan korke hingga berakhirnya proses pembangunannya.
Dikunjungi Wisatawan
Semua ritual adat yang digelar di Desa Riangkamie ini merupakan kekhasan adat dan budaya yang masih dipertahankan. Hampir setiap ada pembangunan atau renovasi rumah adat (korke) selalu digelar ritual adat. Selain itu, seperti dikatakan Kepala Desa Riangkamie Thomas Lewar kepada saya di rumah adat korke bale, di desa ini juga digelar berbagai ritual adat lainnya.
Hal ini membuat Desa Riangkamie sering dikunjungi wisatawan domestik dan wisatawan asing. Selain mengunjungi rumah adat, para wisatawan juga bisa menyaksikan warisan adat budaya lainnya seperti barang-barang di rumah adat misalnya gading pusaka dan aneka barang antik lainnya.
“Kami akan melibatkan pemerintah khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat agar ritual adat ini bisa dipromosikan sebagai objek wisata. Kami juga akan mengundang rekan-rekan media untuk membantu mempromosikan dan mendokumentasikan kekayaan adat dan budaya ini supaya tetap dikenang dan dilestarikan, “ tambah Thomas.
Hewan korban untuk sesajen yang akan disembelih saat ritual reka ahink ( Foto : Wentho Eliando )
Hewan korban untuk sesajen yang akan disembelih saat ritual reka ahink ( Foto : Wentho Eliando )
Setiap bulan Oktober, beber Thomas, Desa Riangkamie juga akan menggelar ritual adat secara besar-besaran dengan melibatkan semua suku yang ada di desa ini.
Di Desa Riangkamie menurutnya, terdapat delapan suku yakni Koten, Kelen, Hurit,  Maran, Mukin, Molan, Lian dan Beguir. Selain itu juga terdapat suku lainnya yang sudah menyatu di dalam ini seperti suku Lewar,Welan, Kelen Nara Ebang, Blemang serta Weking.
“ Ada satu orang bule bersama isteri yang sering ke sini meliput upacara adat. Kami sudah nobatkan dia menjadi anak suku di sini dengan menggelar ritual adat. Dia bersama isteri juga sudah diberi nama sehingga kami merasa dia sudah menjadi bagian dari keluarga besar suku kami. Pernah dia mau membangun pabrik pengolahan mente di sini bersama mitranya tapi tidak terealisasi. Kalau ada ritual adat besar di desa ini, dia selalu kami undang untuk hadir, “ pungkasnya. (*)
Penulis: Ebed de Rosary
Editor: EC. Pudjiachirusanto

________

(https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4972/3394), p. 53.


Belake (Lamaholot?)   = Om  (Amang = Manggarai(. ?)

Belake adalah  status  yang  melekat dalam diri anggota suku yang memberikan perempuan dari sukunya untuk dipinang oleh pihak opu (Tukan  &Tukan,1995:  20).

Opu adalah  status  yang  melekat  pada  diri  anggota  suku  yang meminang  seorang  perempuan  dari  suku  lain.(Tukan  &Tukan,1995:  20).


NB, 

Belake  (Lamaholot) = Anak Rona dalam  Budaya Manggarai  = pihak keluarga pemberi perempuan dalam relasi perkawinan. 

Opu  (Lamaholot) = Anak Wina  dalam  Budaya Manggarai  = pihak keluarga penerima i perempuan dalam relasi perkawinan. 



“likat telo” (likat= tungku, telo:tiga) - Lamaholot;  dalam B. Manggarai,   Likang = tungku, telu = tiga

ewo(kampung).
(https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4972/3394)
*******

lewo = kampung  (https://journal.unpar.ac.id/index.php/Sapientia/article/view/4972/3394), p. 53.



kampung).


___________

https://www.youtube.com/watch?v=YJ_YKeZQlzI


Lera wulan  (Matahari - Bulan)  Ina Tna Ekan (Ibu  Bumi)


Teori Teologi  Paul Ilich )Teolog Protestan):  "Budaya adalah substansi agama"



Tidak ada komentar:

Posting Komentar